KEPUTUSAN partai koalisi Nasdem dan Demokrat dengan dimotori Golkar menandemkan Ngurah Ambara Putra dan Bagus Kertanegara sebagai pasangan calon (paslon) di Pilkada Denpasar 2020, Jumat (21/8/2020) lalu, layak diakui sebagai “kejutan yang dijanjikan” oleh Golkar. Sempat perang urat syaraf dengan merayu IA Selly Fajarini, istri Walikota IB Rai Dharmawijaya; dan Sekda Denpasar, AA Ngurah Rai Iswara, koalisi malah menyodorkan Ambara-Kertanegara. Kandidasi mereka menjelma sebagai penantang hegemoni PDIP di Denpasar — sejak 20 tahun terakhir itu– relatif singkat, hanya sepekan.
Selain karena sosok diusung ternyata jauh melenceng dari nama-nama yang beredar atau diedarkan selama ini, unsur kejutan lainnya yakni Ambara-Kertanegara sama-sama nonpartisan alias bukan kader partai. Geliat Ngurah Ambara di politik kali terakhir menjadi calon DPD RI pada Pileg 2019, dengan perolehan 15 ribu lebih suara di Denpasar; sedangkan kiprah Kertanegara, kecuali di bidang adat, tidak terlalu menonjol. Ibarat asam di gunung dan garam di laut, kesepakatan parpol koalisi dengan paslon nonkader juga menandakan bertemunya dua kutub kepentingan. Parpol menyediakan senjata, kandidat menyetorkan amunisi, jadi klop sudah.
Ketua DPD Partai Golkar Denpasar, I Wayan Mariyana Wandira, berkata keputusan mengusung Ambara-Kertanegara sebagai pilihan paling realistis saat ini. Alasan tidak jadi mendaulat Rai Iswara, meski sebelumnya sangat gencar pedekate ke Golkar, disebut karena tidak ada kejelasan langkah selanjutnya dari Rai Iswara sendiri. “Sampai pada detik-detik akhir, beliau tidak kunjung menunjukkan ketegasan sikap untuk pencalonan,” cetusnya ditemui saat acara di DPD Partai Golkar Bali, Jumat (21/8/2020) lalu. Disinggung apakah “hal tidak jelas” dimaksud itu termasuk soal kesiapan logistik, Wandira hanya tersenyum
Wakil Ketua Bidang Pendidikan Politik DPW Nasdem Bali, AA Ngurah Gde Widiada, ditemui usai deklarasi duet Ambara-Kertanegara di DPD Partai Golkar Bali, tak menepis mengusung paket nonkader memberi kesan kurang baik terhadap eksistensi parpol. Maksudnya, di sini terlihat ada stagnasi kaderisasi yang merupakan tanggung jawab kader. Hanya, Widiada juga tak menutup mata kondisi parpol koalisi memang belum memungkinkan mengusung kader sendiri.
“Di sisi lain Pilkada Denpasar ini harus jalan, kita harus memberi pencerdasan politik kepada masyarakat dengan menghadirkan penantang bagi petahana. Saat ini, langkah (mengusung nonkader) ini yang terbaik yang bisa kami perbuat,” tutur tokoh Puri Peguyangan, Denpasar tersebut.
Akademisi Unud, Kadek Dwita Apriani, menilai pilihan koalisi parpol di Denpasar memperlihatkan macetnya kaderisasi internal partai. Parpol sesungguhnya organisasi yang memperjuangkan nilai-nilainya, dan berusaha merebut kekuasaan melalui cara konstitusional seperti pemilu. Jika untuk kebutuhan pilkada kemudian parpol sampai melakukan “pembajakan” kandidat, kata dia, menandakan tidak ada stok kader mumpuni dan siap bertarung di level itu. Pun mengisyaratkan fungsi partai, untuk menawarkan kader terbaik ke publik, hanya “jalan di tempat”.
“Belakangan memang ada tren kader membajak figur dengan elektabilitas baik, tapi umumnya didampingi kader dari parpol tersebut. Kalau sampai keduanya nonkader, rasanya kita perlu bertanya kembali tentang fungsi kaderisasi,” cetusnya tajam, Senin (24/8/2020).
Menurut Dwita, hal ideal yang dapat diperbuat parpol dalam kondisi minim suara parlemen untuk kontestasi berikutnya adalah membangun konstituen sendiri. Selain itu, cetusnya, dengan berupaya memperkuat organisasi serta tetap menunjukkan eksistensi di mata publik melalui sosialisasi dan edukasi politik. “Memang hasilnya tidak bisa dilihat sekarang atau instan, semua perlu proses. Tapi bila semua parpol ingin hasil instan, lalu di mana tanggung jawab moral mereka melahirkan calon pemimpin masa depan?” sergahnya menandaskan. hen