“SEBAIKNYA biarkan sebuah karya kreatif menjelaskan dirinya sendiri, apresiasi yang otentik harus berbasis pada obyektivitas (karya) bukan bertolak dari subyektivitas (pengamat).”
Saya tentu sepakat dengan adagium tersebut. Tapi, untuk mengapresiasi karya seni tetap perlu menggunakan alat referensi dengan melacak proses kreatif maupun menggali dari percakapan intens dengan sang seniman.
Dalam mengapresiasi karya-karya yang dipamerkan Nyoman Sujana Kenyem (50 tahun) bertajuk “Finding Balance” di Teh Villa Gallery, Surabaya (9 Mei – 26 Juni 2022), saya hanya bertolak dari riset kecil atas proses kreatif sang perupa.
Mencermati 29 karya yang dipamerkan menguatkan pemahaman saya bahwa Kenyem tetap bersetia pada eksekusi karya dengan aksentuasi penguatan dan pendalaman personalitas (ciri khas) simplifikasi figur , pilihan warna dingin- teduh, dan tema bernuansa renungan atau refleksi tentang ekosistem alam dan kosmologi kehidupan dan kemanusiaan.
Dalam konteks itu, membaca proses kreatif para perupa dalam upaya eksplorasi karya, bisa dikategorikan revolutif (penuh pembaruan secara revolusioner) dan evolutif (bertahap atau perlahan tapi pasti, secara visioner).
Nyoman Kenyem saya pahami masuk kategori atau memilih jalan evolutif. Benang merah pola eksekusi karyanya bisa dilacak dari pengamatan saya secara intens atas karya-karyanya sejak tahun 2000-an, hingga karya mutakhirnya.
Saya mencatat dua pelukis jebolan ISI (STSI) Denpasar yang tengah berproses untuk pematangan gagasan kosa rupa; dalam pilihan tema, warna maupun makna. Hemat saya keduanya punya ‘indentitas personalitas” karya dengan aksentuasi pada kecenderungan eksekusi karya dengan pola repetitif yang konstan.
Perupa yang satunya adalah Nyoman Sujana Suklu, kini dosen di almamaternya. Ternyata keduanya punya relasi persahabatan. Bersama sejumlah perupa seangkatannya, Wayan Sujana Suklu dan Nyoman Sujana Kenyem bergabung dalam kelompok “Mandala of Life”.
Ibarat sebuah pendakian gunung dengan banyak rangkaian puncak selain puncak tertinggi , saya mencatat salah satu titik puncak pencapaian Nyoman Kenyem bisa dilacak dari karya-karya pada pameran tunggalnya di Philo Art Space, Jakarta (2013).
Pada rangkaian karya bertajuk ‘Highest’, ada penjelasan bahwa tema karya Kenyem merupakan refleksi dari kehidupan kaum urban dalam konteks ‘gegar budaya’ (shock culture) penampakan karyanya tetap saja mudah dikenali bahwa itu karya Kenyem dengan miniatur figur abstraktif dengan sentuhan pola dekoratif.
Sebagai pembanding kita simak pengamatan pemilik galeri Tommy F. Uway. Bagi Tommy yang juga dikenal sebagai penekun filsafat, karya Nyoman Kenyem, mengekspresikan fenomena urban sekaligus sebagai sebuah kritik yang demikian halus.
Maka, menyimak sejumlah karya pelukis super produktif ini, bagai mengajak kita merenung , berwisata ke alam percik permenungan, sekaligus menawarkan pesona melodi penghiburan. Saya pun diingatkan pada pilihan miniatur figuratif dengan dinamika gerak gemulai (tari) dalam serial ‘eksplorasi tubuh’ karya Putu Sutawijaya atau karya pelukis senior asal Surabaya, Amang Rachman yang bernuansa surealrelijiusistik.
Di sisi lain, mencermati sejumlah karya Kenyem yang ditampilkan dalam pameran ‘Finding Balance”, terutama tampilan serial ‘ritus pohon’ dan ‘serial moon’ saya terbayang sejumlah karya khas pelukis senior Jogjakarta, Widayat yang dikenal sebagai pioner genre surealis magis.
Kita pahami saling mempengaruhi antarseniman baik secara sadar (sengaja) maupun bawah sadar (secara kebetulan) jelas suatu yang wajar. Sebab, sesungguhnya, tak ada yang sesungguh yang baru di bawah langit ini.
Terlepas pengamatan tersebut, saya harus menyatakan salut pada spirit kreativitas dan produktivitas berkarya Nyoman Kenyem, sungguh bagai api nan tak kunjung padam.
Bayangkan, di era pandemi, saya catat inilah salah satu perupa yang terus berkarya dan aktif berpameran tunggal. Bahkan, pada pameran tunggal “Living Gallery” di Komaneka Fine Art gallery Ubud ( 2021) dia nekat beraktivitas 24 jam non stop.
Kata Dia, di tengah pandemi Covid-19 kegiatan ‘living gallery’ ini merupakan tantangan bagi seniman, termasuk galeri, untuk menunjukkan eksistensi dan membuktikan bahwa kreativitas berkesenian tak pernah padam saat terjadi wabah sekalipun.
Salut, dan lanjut Bro…! Putu Suarthama