Kayun Duga karena Faktor Kultural, Lowongan PPS di Badung Utara Minim Animo

SEMARA Cipta saat membacakan tata tertib kepada calon PPS yang mengikuti tes tulis CAT di SMAN 1 Mengwi, Selasa (10/1/2023). Foto: ist
SEMARA Cipta saat membacakan tata tertib kepada calon PPS yang mengikuti tes tulis CAT di SMAN 1 Mengwi, Selasa (10/1/2023). Foto: ist

MANGUPURA – Animo masyarakat terhadap lowongan Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk Pemilu 2024 di Badung relatif minim. Hal itu terlihat dari kurangnya pendaftar dari kuota maksimal, dan perlu ada perpanjangan masa pendaftaran. Menariknya, animo yang minim justru di kawasan Badung Utara yang penduduknya masih homogen. Kondisi sebaliknya terjadi di Badung Selatan yang penduduknya heterogen.

Ketua KPU Badung, I Wayan Semara Cipta, menuturkan, yang mendaftar sampai tes tulis CAT pada Selasa (10/1/2023) sebanyak 368 peserta. Padahal dengan kuota minimal 6 pelamar di setiap desa/kelurahan dikalikan 62 desa di Badung, semestinya minimal 372 orang. Pelamar memang masih minim, dibuktikan perpanjangan tahap 1 dari 16 sampai 30 Desember 2022 lalu.

Bacaan Lainnya

“Juknis mengatur minimal mendaftar dua kali kebutuhan, sampai 30 Desember 2022 masih ada satu desa di bawah enam orang. Perpanjangan 30 Desember sampai 2 Januari 2023 dengan target pendaftar satu kali kebutuhan, akhirnya semua terpenuhi,” terang Kayun, sapaan karibnya.

Dari data yang ada, Kecamatan Petang sebelumnya ada 3 desa kurang kuota, Abiansemal (7), Mengwi (11), Kuta Utara (3), Kuta (2), dan Kuta Selatan (1). Data menunjukkan justru di Badung bagian utara yang banyak desa minim peminat, dan di bagian selatan terlihat banyak peminat, minimal tidak sulit memenuhi kuota yang diinginkan KPU.

Baca juga :  Sekda Bali: Jangan Diskriminatif Sikapi Penyebaran Covid-19

Menyikapi adanya desa/kelurahan yang rendah partisipasi warganya menjadi penyelenggara adhoc itu, Kayun menyebut segera berkoordinasi dengan pimpinan wilayah dan tokoh desa untuk minta bantuan rekrutmen PPS. Komunikasi intensif ditekankan kepada wilayah yang pesertanya masih di bawah tiga orang, karena anggota PPS sebanyak tiga orang di masing-masing desa/kelurahan.

Soal rendahnya animo pelamar PPS, Kayun menduga karena pelamar melihat faktor tanggung jawabnya cukup tinggi. Selain itu masih ada faktor kultural di sebagian masyarakat, yakni segan mengajukan diri jika tidak ditunjuk oleh pihak desa/kelurahan. Sebab, kerja dan tanggung jawab PPS memang dalam lingkup desa atau kelurahannya.

“Di satu sisi ini kita bisa melihat keseganan ini sebagai bentuk kesadaran partisipasi mereka kurang. Di sisi lain, bisa juga bentuk kepatuhan kepada kades atau lurah, dalam artian mereka tidak bergerak kalau belum dapat restu dari pimpinan wilayahnya,” urai komisioner berkepala plontos tersebut.

Selain itu, sambungnya, masih ada asumsi bahwa PPS bukan pekerjaan bebas yang boleh dilakukan siapa saja, melainkan harus ada “restu” dan tuntunan dari kepala wilayah. Padahal dengan KPU membuka rekrutmen memakai aplikasi SIAKBA, semangatnya justru membuka ruang luas kepada siapa saja yang ingin menjadi penyelenggara pemilu. Tetapi, dia mengakui dalam kultur masyarakat yang demografinya homogen memang agak sulit.

“Bisa juga karena mereka berpikir ada beban jika melamar sendiri ketika ada kekurangan atau persoalan. Hal sebaliknya justru terjadi di selatan, yang heterogen dan sebelumnya justru paling susah mencari petugas badan adhoc,” pungkasnya tertawa kecil. hen

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.