POSMERDEKA.COM, GIANYAR – Nyoman Bratayasa, seniman asal Banjar Gelogor, Desa Lodtunduh, Ubud berhasil menuntaskan karya seni monumental. Dia membuat relief batu padas sepanjang 15 meter dan tinggi 3 meter. Relief ini digarap selama sembilan bulan di halaman rumahnya, di Jalan Sahadewa Nomor 33, Banjar Gelogor, Ubud.
Menariknya, batu padas yang digunakan bukanlah material baru, melainkan berasal dari puing bangunan yang dikumpulkan selama lima tahun terakhir. “Saya kumpulkan batu padas ini dari sisa bangunan yang tidak terpakai. Saya pilah batu-batu dan saya ukir ulang menjadi karya yang punya nilai,” kisah Bratayasa saat ditemui di kediamannya, Rabu (18/6/2025).
Bratayasa yang selama ini lebih dikenal sebagai pelukis, justru tidak memiliki latar belakang pendidikan formal dalam seni ukir. Namun, dia membuktikan kekuatan naluri, pengalaman batin, dan konsistensi berkarya dapat melahirkan sesuatu yang luar biasa. Dia menyebut proses penciptaan karya ini sebagai bentuk ‘tatah batin’, yakni pemahaman spiritual dan kesadaran budaya yang diukir secara perlahan, melalui setiap sentuhan tatah di permukaan batu.
Relief batu padas yang digarap Bratayasa tidak hanya memiliki nilai estetika tinggi, juga menyimpan makna budaya dan spiritual. Tiap bidang ukiran memuat simbol-simbol kehidupan, relasi manusia dengan alam, serta keharmonisan semesta yang menjadi filosofi utama dalam kehidupan masyarakat Bali.
Keputusan Bratayasa untuk berkarya di halaman rumahnya juga bukan tanpa makna. Menurutnya, halaman rumah bukan hanya ruang fisik, melainkan juga ruang spiritual yang menghubungkan dirinya dengan leluhur serta menjadi media pendidikan alami bagi generasi muda di lingkungan banjar.
“Saya ingin halaman ini bukan hanya tempat berkarya, juga ruang belajar dan bertumbuh, terutama bagi anak-anak muda yang tertarik pada seni,” tuturnya.
Bagi Bratayasa, seni bukan semata-mata bentuk ekspresi diri, juga bagian dari tanggung jawab sosial dan spiritual. Dia ingin menunjukkan warisan budaya Bali bisa diolah kembali secara kreatif, tanpa menghilangkan akar filosofisnya. Proses penciptaan relief ini pun menjadi refleksi dari nilai-nilai itu, bagaimana sesuatu yang terlupakan seperti puing-puing batu, bisa diangkat kembali menjadi karya yang bermakna.
“Ini bukan soal membuat karya besar, tapi bagaimana kita bisa memberi makna baru pada yang lama, pada yang sering dilupakan. Batu-batu ini awalnya tidak dianggap, sekarang mereka bisa bicara lagi lewat ukiran,” jelasnya.
Kini, relief batu padas sepanjang 15 meter itu berdiri kokoh di halaman rumahnya. Padas itu menjadi saksi ketekunan, intuisi, dan semangat pelestarian budaya dari seorang seniman yang memilih jalan sunyi di tengah riuhnya dunia seni kontemporer. adi