Oleh Made Nariana
MENJELANG Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Bali 2025, terkesan sudah ada kekisruhan. Paling tidak ini terjadi di Pengurus Provinsi (Pengprov) PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) Bali.
Pengprov PBSI Bali pimpinan Winurjaya membuat Technical Hand Book (THB) – sebuah tata tertib pertandingan dengan kesusu seperti punya target tertentu, demi kepentingan tertentu juga. Atlet hanya boleh main maksimal umur 18 tahun.
Muncul protes. Pengprov PBSI mengirim surat ke induknya di Jakarta (PB/PP PBSI) minta petunjuk. Sebelum surat petunjuk itu datang, KONI membuat SK soal THB PBSI untuk Porprov Bali.
Kemudian datang petunjuk pusat melalui sebuah surat yang ditandatangani Sekjennya. Aneh dalam sebuah rapat ada yang curiga dengan surat Sekjen itu, diragukan dan dianggap tidak benar. Pusat minta, umur atlet 23 tahun boleh main. Sebab segala sesuatu dapat berubah dalam PON tahun 2028 di NTB dan NTT.
Winurjaya sendiri dalam sebuah pertemuan yang saya dengar sendiri menyatakan, memang selama ini sering ada perubahan soal umur atlet. Kalau benar demikian, kenapa mesti dia sendiri kaku, tidak mau berubah soal umur sesuai ketentuan Pusat? Kalau mau SK KONI soal THB juga bisa diubah.
Memang ada pendapat, umur 18 tahun bagi atlet sangat visioner. Nanti saat dipakai sangat tepat katanya. Oke saya juga paham. Tapi jangan lupa, atlet yang sedang punya prestasi saat ini, hendaknya jangan dicampakan begitu saja. Mereka mau diapakan? Apalagi juga dapat di-acc Pengurus Pusat sebagai induk Pengrov PBSI Bali?
Pengurus olahraga seperti KONI dan pengurus cabor hendaknya jangan membinasakan atlet yang dibina dengan bantuan orang tua bertahun-tahun. Tugas Pembina adalah membina dan bahkan sering memanjakan atlet seperti ibaratnya artis yang sedang menanjak karirnya!
Regenerasi atlet boleh dan harus. Tapi buat mencapai sebuah prestasi harus memperhatikan jenjang pembinaan secara alamiah. Banyak yang mengakui atlet (Bulutangkis khususnya) sudah umur 35 atau 40 tahun malah masih mampu menjadi juara SEA Games atau Asian Games. Konon inilah juga menjadi acuan, sehingga Pusat ingin membebaskan soal umur atlet dalam kejuaraan-kejuaraan.
Bukankah di Bulutangkis juga atlet senior atau sudah ”berumur” masih bisa berprestasi dunia. Seperti yang dilakukan Poul-Erik Hoyer Larsen, pemain kelahiran Helsinge, Denmark pada tanggal 20 September 1965, berhasil meraih medali emas Olimpiade Atlanta 1996. Itu dilakukan saat usianya 31 tahun. Setelah pensiun, Paul menjadi presiden federasi bulutangkis dunia (BWF) dua periode sejak 2010, sebelum digantikan Khunying Patama Leeswadtrakul dari Thailand.
Kemudian di tingkat lokal (Bali), atlet atletik asal Badung Maria Londa misalnya, yang juga berlomba dengan memerlukan fisik keras – masih eksis dalam usia 30 tahun ke atas. Tidak ada yang mengalahkan selama ini. Namun apa mereka akan dicampakkan tidak boleh main di Porprov dengan alasan visioner dan memberikan kesempatan yang lain
untuk maju?
Buat maju itu harus latihan keras, (seperti apa yang dilakukan Maria bertahun-tahun). Jangan “membunuh” justru di saat mereka sedang punya prestasi. Juara harus diperoleh melalui pertandingan/kejuaraan. Bukan membinasakan mereka, apalagi masih memiliki prestasi — dengan aturan dibuat seenaknya.
Maria Londa masih dipakai Bali jika PON malah dipakai Indonedia jika ke SEA Games atau Asian Games. Namun begitu Porprov dicampakan tidak boleh main, mendapatkan penghargaan di daerahnya sendiri. Apa ini adil?
Pertama atlet rugi, di mana seharusnya ia sekali sekali mendapat penghargaan dan diakui di daerahnya. Kedua; akan muncul juara Porprov semu, di nomor yang sama karena ada juara lain yang masih eksis. Ketiga; kalau semua daerah tidak menghargai atlet yang masih eksis (punya prestasi) tidak dipakai/tidak boleh main – maka yang bersangkutan menjadi atlet tanpa tuan di Bali.
Saya berpendapat atlet harus menjadi juara melalui kejuaraan. Bukan karena sengaja diblok pembinanya sendiri. Oleh karena itu, sebagai pembina olahraga mestinya melakukan pembinaan generasi Bali dengan fair, sehingga tidak ada kesan di kalangan masyarakat, terutama di kalangan orangtua atlet pimpinan KONI membinasakan anak-anaknya.
Apalagi mereka sang atlet itu masih memiliki prestasi yang sedang moncer dan patut diandalkan. Banyak pengorbanan orangtua selama latihan bertahun-tahun, karena biaya tidak semua dapat diatasi pembina dan pemerintah dalam membangun prestasi atlet!. (*)