DENPASAR – Penyempurnaan suatu produk legislasi, terutama dalam aspek implementasi, bukan hal tabu untuk dilakukan. Demikian pula untuk Perda Provinsi Nomor 4/2019 tentang Desa Adat. “Partai Golkar akan tetap berjalan untuk menyempurnakan Perda Desa Adat ini. Nanti yang diberi (hasil kajiannya) itu Gubernur dan Dewan (DPRD Bali),” kata Wakil Ketua DPRD Bali yang juga Ketua DPD Partai Golkar Bali, I Nyoman Sugawa Korry, saat menerima audiensi Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional Provinsi Bali (DPD Abpednas) di DPRD Bali, Senin (11/1/2021).
Sugawa, didampingi Ketua Komisi I, I Nyoman Adnyana; dan Wakil Ketua Komisi II, Dwi Utami, berujar demikian saat menanggapi curhatan dari pengurus organisasi yang baru berdiri tersebut. Dalam pertemuan selama dua jam itu, Ketua Wayan Madra Suartana dan Sekretaris IB Alit Sudewa bersama sejumlah anggotanya menyuarakan sejumlah persoalan di bawah. Dua hal yang menonjol adalah adanya perbedaan tajam kepemimpinan desa dinas dan desa adat, serta minimnya tunjangan untuk anggota BPD meski memiliki tanggung jawab besar dalam pembangunan di desa.
Mengutip curhat tamunya, Sugawa menyebut berarti fakta adanya perbedaan tajam kepemimpinan antara desa adat dan dinas. Kondisi seperti ini, kata dia, menjadi salah satu pertimbangan Perda Desa Adat dari sejumlah hal di bawah yang perlu diperbaiki dan terus disempurnakan.
“Ini salah satu masukan yang ditangkap dewan. Bukan karena harus revisi, tapi dimajukan dan diperkuat untuk pembelaaan adat dan budaya. Penyempurnaan implementasi bukan hal tabu, itu sudah tiga kali direvisi, (berarti) terbuka untuk disempurnakan,” jelasnya.
Menurut data Abpednas yang diutarakan kepada legislator, ada BPD yang digaji hanya Rp350 ribu sebulan. Ini dinilai sangat miris, karena tanpa persetujuan BPD tidak ada produk desa. Selain itu BPD bertugas mengawasi kinerja perbekel, sehingga keadaan itu dipandang sebagai bentuk tidak ada kesetaraan dan keadilan.
Cara pandang pemerintah terhadap desa juga dirasa belum maksimal, padahal dana desa banyak dikucurkan untuk membangun dari pinggiran. Eksistensi desa adat dan dinas diminta harus diperhatikan, karena regulasi mengatur yang sama. Secara praktik juga terjadi tumpang-tindih soal aset.
“Kami minta penyeragaman nominal tunjangan BPD. Perangkat desa dapat BPJS dari APBDes, tapi kenapa BPD tidak? Kami minta fasilitasi ada tunjangan dari Pemprov, apapun bentuknya,” usul perwakilan dari Jembrana.
Terkait permintaan itu, Adnyana menguraikan untuk pemerintahan desa merupakan domain kabupaten/kota. Untuk tunjangan, dia menjelaskan APBD 2021 sudah ketok palu, jadi kalaupun aspirasi itu dapat diperjuangkan, maka paling cepat di anggaran perubahan 2021.
“Kami jamin aspirasi itu akan kami perjuangkan ke eksekutif, minimal untuk batas minimal tunjangan penghargaan. Kalau terlalu kecil, itu tunjangan penghargaan atau penghinaan?” kelakarnya memantik tawa hadirin.
Usai pembahasan persoalan-persoalan lain di BPD, Sugawa menyimpulkan usulan tunjangan BPD akan dikoordinasikan di internal dan direkomendasikan ke Gubernur. Dewan sepakat untuk memperkuat tupoksi implementasi BPD penting dilakukan bimtek dan koordinasi eksekutif. Di sisi lain, BPD diharap proaktif dan inovatif dalam bekerja, dengan selalu memahami peraturan yang ada. “Terkait informasi dualisme adat dan dinas, kami akan kaji lebih lanjut secara regulasi,” tandasnya. hen