POSMERDEKA.COM, MANGUPURA – Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo mengungkapkan ide mengejutkan, dimana ia ingin ada penyederhanaan atau pengurangan alias pemangkasan cabang olahraga (cabor) yang dipertandingkan pada Pekan Olahraga Nasional (PON) mendatang. Hal itu dungkapkan Menpora saat konferensi pers, sebelum acara penutupan PON XXI Aceh-Sumut 2024, Jumat (20/9/2024).
Menpora ingin cabor yang dipertandingkan pada PON berikutnya adalah cabang olahraga yang ada kaitan dengan kejuaraan internasional. “Kami ingin PON ini fokus, pertama pada cabang olahraga yang dipertandingkan di Olympics (olimpiade), baru setelahnya Asian Games dan SEA Games dan ini harus kita hitung dengan kemampuan daerah dan juga potensi dari daerah,” kata Dito,
Menanggapi keinginan Menpora itu, Ketua Umum KONI Badung Made Nariana tegas mengatakan belum dapat menerimanya. “Saya kurang setuju,” kata Nariana singkat, yang mana saat dikonfirmasi posmerdeka.com, Sabtu (21/9/2024) masih di Bandara Medan, perjalanan menuju Bandara Ngurah Rai, usai mendampingi para atlet Badung berlaga di PON XXI.
Nariana memaparkan, tujuan PON sebagaimana diatur dalam AD/ART KONI, selain meningkatkan prestasi atlet juga bertujuan meningkatkan solidaritas, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui olahraga. Selain itu jargon olahraga Indonesia adalah memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.
Jargon ini, tambah dia, mengandung pengertian, makin banyak masyarakat mau berolahraga tentu sangat baik, untuk membentuk watak bangsa atau membangun caracter building masyarakat. Olahraga merupakan investasi manusia Indonesia. ”Tujuan PON lebih luas daripada sekadar hanya prestasi,” tegas Nariana.
Menurut dia, justru yang perlu dibenahi dalam PON adalah priofesionalisme penyelenggaraannya, yang meliputi kejujuran, keterbukaan, fairplay dalam setiap pertandingan atau kejuaraan.
Ia pun memberikan contoh, berdasarkan catatan dari penglamannya, siapa yang menjadi tuan rumah selalu diuntungkan menduduki posisi tertentu. Itu bukan karena akibat prestasi atletnya, namun karena lobi tuan rumah yang harus dipenuhi sehingga peserta/atlet lain mau mengalah memberikan kemenangan kepada atlet tuan rumah.
Selain itu, jauh-jauh sebelum PON dimulai, tuan rumah sering melobi daerah lain, minta atlet ini dan atlet itu di semua cabor diberikan posisi emas karena KONI tuan rumah memberi target supaya meraih medali utama itu.
“Makanya banyak daerah, begitu tidak menjadi tuan rumah kembali anjlok posisinya ke rangking bawah. Contohnya Kalimantan Timur (Kaltim). Saat jadi tuan rumah dalam PON XVII tahun 2008, posisinya kalau tidak salah saat itu 3 besar. Begitu menjadi tamu ke daerah lain, langsung anjlok ke posisi bawah, bahkan dalam PON XXI ini berada di ranking 8 dibawah Bali,” beber Nariana.
”Contoh lain, Papua sebelum terbagi menjadi sejumlah provinsi, pada PON XIX berada diperingkat 8 dibawah Bali peringkat 6 dan Riau di peringkat 7. Lalu saat menjadi tuan rumah PON XX, langsung melonjak ke peringkat 4 mengalahkan Bali yang berada di peringkat lima dan Jateng yang sebelumnya selalu jadi langganan 4 besar, digusur ke peringkat 6,” tambahnya.
Menurut Nariana, cara-cara pelaksanaan PON dengan mendapat kewenangan/keinginan khusus tuan rumah inilah yang seharusnya dibenahi Menpora atau KONI pusat. Kalau terus-terusan demikian, sampai kapan pun olahraga Indonesia tidak akan maju.
Apalagi wasit sepakbola misalnya dapat dikendalikan tuan rumah supaya memenangkan kesebelasannya, yang berbuntut insiden pemukulan korps baju hitam itu di lapangan. Insiden pada PON XXI sekaligus ”menodai” pelaksanaan cabor sepakbola yang notabene cabor paling terpopuler dalam setiap hajatan PON.
“Saya mendapat laporan dari pengurus cabor, atletnya harus mengalah di posisi perak, sehingga tuan rumah mendapat emas. Kalau tidak mau, atlet tersebut langsung didiskualifikasi. Yang begini-beginilah harus ditiadakan dalam PON, sehingga profesional demi kemenangan murni seorang atlet,” harap Nariana yang juga mantan Ketua Umum KONI Bali.
Nariana sangat menghargai keinginan besar Menpora untuk mengangkat prestasi Indonesia di setiap multi event seperti Olimpiade, Asian Games, dan juga SEA Games. ”Jadi menurut saya, ide memangkas sejumlah cabor di PON, bukan solusi terbaik untuk mengangkat prestasi olahraga Indonesia ke tingkat dunia,” ungkapnya.
Masih banyak solusi untuk memperbaiki prestasi olahraga Indonesia ke tingkat dunia. Misalnya memaksimalkan program Pelatihan Nasional (Pelatnas) baik jangka panjang maupun jangka pendek. ”Dulu era Menpora sebelumnya ada yang namanya Disain Besar Olahraga Nasional (DBON), saya tidak tahu apa program itu masih berjalan atau tidak,” beber Nariana.
Di cabor bulutangkis misalnya, sejak Olimpiade 1992 selalu mendapatkan emas. Tetapi di Olimpiade Paris 2024 baru saja, tradisi medali emas itu lenyap dan hanya mendapat satu medali perunggu. ”Mungkin ada yang salah dalam program Pelatnas PBSI. Ini yang perlu dievaluasi dan diperbaiki, bukan memangkas cabor PON solusinya,” pungkas Nariana. yes