Oleh Made Nariana
POLITIK memang menggunakan berbagai cara, untuk mencapai tujuan politik itu sendiri. Kini muncul kecurigaan public, bahwa banyak survei dapat dibayar sehingga memenangkan seseorang untuk kepentingan politik.
Lembaga survei banyak dikelola kalangan intelektual. Kalangan atas yang memiliki pendidikan tinggi. Kalangan kampus, yang seharusnya memiliki independensi tinggi. Namun lembaganya sering dilacurkan untuk kepentingan sesaat. Kepentingan kepentingan pragmatis, kepentingan perut!.
Lembaga survei tidak lagi untuk alat sebuah kebenaran ilmiah yang dapat dipercaya masyarakat untuk sebuah kepentingan umum. Namun survei dilakukan berdasar pesanan, guna menggiring public untuk sebuah kepercayaan.
Pengamat politik Ikrar Nusabakti mengatakan, banyak Lembaga survei saat ini dipakai untuk mengarahkan public, seolah-olah tokoh ini atau itu mendapatkan angka paling tinggi, dalam sebuah perhelatan politik. Lembaga survei diarahkan. Di mana melakukan survei.
Misalnya kepada Masyarakat yang baru saja diberikan bansos, diberikan beras bergambar tokoh tertentu. Ya di sanalah Lembaga survei menurunkan aparatnya, siapa pilihan mereka kelak dalam pemilu. Ya pastilah, kepada mereka yang memberikan bansos itu. Inilah salah satu cara mengendalikan Lembaga survei bayaran.
Kecendrungan lain, kini muncul lembaga-lembaga survei dadakan. Dengan dalih diurus kaum intelektual, mereka menawarkan jasa survei sesuai pesanan. Entah metode apa yang dipergunakan, hasilnya keluar berdasar pesanan tersebut.
Namanya pesanan, tentu biaya survei diberikan oleh pemesan. Berlaku hukum ekonomi. Makin besar bayarannya, makin besar pula produk survei tersebut memberikan nilai tertinggi kepada pembayar.
Saya melihat nilai intelektual Masyarakat kita mulai diperjualbelikan. Nilai ini seharusnya dipergunakan untuk kepentingan nusa dan bangsa, serta masyarakat luas demi kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Tetapi karena kini jamannya serba susah, kaum intelektual pun “menjual diri”, melalui berbagai Lembaga – termasuk Lembaga survei dadakan menjelang hajatan politik.
Saya akhirnya percaya bahwa dugaan masyarakat di mana hasil survei menjadi seragam, memberikan bayangan mereka sengaja diborong pemilik modal. Pemilik modal tiada lain adalah pengusaha besar yang menguasai dinasti politik.
Dalam kondisi media social kini makin merajai benak masyarakat, maka mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang direkayasa dan mana yang alami. Mana yang demokratis dan mana yang diktator.
Kita harus ingat kembali, tujuan luhur reformasi tahun 1998 antara lain memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Menegakkan hukum dan kebenaran. Mengembalikan kedaulatan rakyat kepada rakyat. Maukah kita kembali ke jaman orde baru, atau menegakkan tujuan reformasi sesuai dengan tuntutan rakyat tahun 1998? (*)