DENPASAR – Keserentakan Pemilu dan Pilkada pada tahun 2024 memang lebih menjanjikan dari perspektif efisiensi waktu dan fokus pelaksanaan. Namun, pada saat yang sama juga rentan menghadirkan kebosanan kepada para pemilih. Selain itu, fokus pemilih cenderung tersedot kepada Pemilu karena isunya nasional, dan mengurangi minat terhadap Pilkada.
PPS Dauh Puri Kaja, Denpasar, I Made Satya, mengaku kurang sreg dengan ditumpuknya pelaksanaan kontestasi beda skala itu pada waktu yang sama. Sebagai penyelenggara di tingkat bawah, dia menilai akan banyak pekerjaan rumah yang harus disiapkan sejak awal. Salah satunya adalah meningkatkan partisipasi pemilih untuk menggunakan hak suara ke TPS. “Mengingat waktu pemungutan suara yang serentak, kemungkinan akan timbul suatu kebosanan dari masyarakat untuk datang ke TPS,” tuturnya, Kamis (4/2/2021).
Lebih jauh diutarakan, beban penyelenggara di semua tingkatan, terutama di tingkat paling bawah, juga perlu dipertimbangkan. PPS dengan banyaknya regulasi terkait dengan rekrutmen KPPS akan kesulitan untuk mencari pelamar KPPS. Dia berharap jumlah PPS atau minimal jumlah Sekretariat PPS diproporsionalkan sesuai dengan jumlah penduduk, pemilih atau TPS. “Untuk usul, agar ada inovasi dalam pemungutan suara dengan berbasis teknologi informasi,” pintanya.
Bagi Ketua Bawaslu Badung, Alit Astasoma, pengawasan tahapan Pemilu dan Pilkada yang beririsan memang berpotensi membingungkan dijalankan di lapangan. Menurutnya, setiap produk hukum yang lahir dari kebijakan politik mestinya ada kajian akademis. Misalnya uji publik yang mendalam sebelum memutuskan pelaksanaan keserentakan Pemilu dan Pilkada.
Segendang sepenarian dengan penilaian penyelenggara lain di KPU dan Bawaslu yang pernah diwawancarai POS BALI (posmerdeka.com) sebelumnya, Alit merujuk pengalaman pilu gugurnya ratusan petugas penyelenggara saat Pemilu Serentak 2019 menjadi trauma yang sulit dihilangkan. Selain jajaran KPU dan Bawaslu, jajaran Polri pun turut jadi “tumbal” pemilu dengan sistem lima kotak suara sekaligus tersebut.
Disinggung apa kerumitan yang dapat muncul, kata dia, selain ribetnya teknis penyelenggaraan, Putusan MK No. 55/PUU-XVI/2019 yang mengubah soal konstitusionalitas serentak lima kotak sebagai satu-satunya pilihan konstitusional, sesungguhnya membuat kompleksitas Pemilu 2019. Semestinya beban itu tidak ditambah dengan kerumitan baru lagi. Apalagi dalam putusan itu MK mengingatkan agar memilih desain Pemilu Serentak dengan mengaitkan antara sistem pemilihan dan sistem pemerintahan presidensial.
“Sistemnya merupakan original intens dari pembentuk UUD 1945 yaitu efektif, efisien penyelenggaraan pemilu, serta mempertimbangkan hak WN untuk memilih secara cerdas. Dengan pertimbangan di atas, demi pelaksanaan pemilu yang logis, jujur, adil dan demokratis, semestinya pilkada tidak digelar serentak secara nasional pada tahun 2024. Ini untuk menghindari kekacauan dan tragedi demokrasi elektoral,” urainya menandaskan. hen