Joget Gemoy Manjur Jaring Pemilih Milenial, Cuma…

Gus Hendra
Gus Hendra

SATU video reels (film pendek) di media sosial memperlihatkan Prabowo Subianto berjoget saat pengundian nomor urut Pilpres, disambung dengan aksi joget menirukan gaya Prabowo oleh sekumpulan anak muda. Kemasan video, yang sepertinya dibuat relawan Prabowo, itu sangat gaul, karena diisi lagu house music nan atraktif. Joget ala Prabowo itu banyak beredar di media sosial dibingkai menjadi joget gemoy. Dalam bahasa gaul ala anak muda, gemoy berarti lucu atau gemas untuk menggambarkan sifat atau tingkah laku seseorang atau sesuatu.

Sebagai salah satu bahan kampanye di udara, pemilihan diksi gemoy untuk menarasikan Prabowo termasuk menarik dikupas dari aspek komunikasi politik. Pertama, kata gemoy mudah diingat dan diframing kepada citra figur tertentu ketika amplifikasi kencang dilakukan ke media, terutama media sosial. Kedua, gambar dan suara video gemoy yang gembira, relatif menarik minat banyak kalangan, khususnya kalangan anak muda. Apalagi dalam reels itu banyak berisi anak muda menirukan joget gemoy ala Prabowo. Ketiga, memakai gemoy yang bahasa anak muda juga menghapus citra serius dan galak Prabowo yang berlatar belakang militer, berikut rekam jejaknya pada masa lalu. Asosiasi gemoy juga terkoneksi dengan slogan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebagai salah satu partai pendukung Prabowo, untuk mengajak “berpolitik dengan riang gembira”.

Bacaan Lainnya
Baca juga :  Covid-19 Kembali Ancam Indonesia, Karangasem Nihil Vaksin

Memang reels itu menggelitik rasa penasaran untuk mengenal sisi lain Prabowo. Tapi jika ditujukan sebagai kampanye sebagai pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab, itu hal lain sama sekali. Sebagai upaya membuat orang tidak merasa pemilu ini “serius dan seram”, pesan reels jelas masuk. Sayang, pesan berhenti sampai di sana, belum menyentuh aspek substansi dari kontestasi Pilpres.

Suatu kampanye bisa dikatakan ideal ketika ada konsep, gagasan, tawaran program, dan pendekatan persuasi dibuat dalam rencana strategis pemenangan. Materi kampanye berorientasi kepada upaya mengurangi masalah yang dialami dan dirasakan masyarakat. Hal ini belum terlihat masif dilakukan pendukung Prabowo di media sosial, khususnya di Bali, karena masih berkutat menghadirkan kesan bergembira. Gimmick politik joget-joget masih mendominasi untuk meredam sejumlah isu minor terkait pasangan Prabowo-Gibran; di antaranya politik dinasti dan pelibatan lembaga negara untuk pemenangan.

Namun, strategi mengajak riang gembira itu bisa dimaklumi, karena paslon lain memakai pola menyerang kepada Prabowo-Gibran. Mereka bisa dikatakan “paslon baru rasa petahana”. Beban politik masa lalu Prabowo dalam konteks pelanggaran HAM tahun 1998, diungkit kembali untuk delegitimasi dengan teknik name calling. Dinamika Gibran sampai menjadi cawapres dengan merekayasa gugatan di Mahkamah Konstitusi, juga galak disuarakan kubu paslon lain.

Bagi pemilih milenial dan generasi Z, yang jumlahnya mencapai 52 persen, video gemoy dapat menggiring ke persepsi Prabowo itu sosok yang lucu. Ditambah Gibran sebagai cawapres berusia muda, relatif mudah mengasosiasikan “kemudaan” Gibran dengan narasi “jangan halangi yang muda menjadi memimpin”. Efeknya adalah hadir citra positif terhadap pasangan ini.

Baca juga :  Antisipasi “Field Trip” G20, Polsek Gianyar Razia Kendaraan

Sependek pengamatan penulis, isu gemoy banyak dibahas dan disukai pemilih milenial, karena golongan ini sangat aktif bermedia sosial.  Hanya, yang dibincangkan baru sebatas aksi joget-jogetnya saja yang dinilai asyik. Minimal sudah menghasilkan impresi dan tertanam di alam bawah sadar bahwa Prabowo sosok capres yang “menyenangkan, bisa menyesuaikan selera anak muda, dan tidak seburuk yang dinarasikan orang”.

Walaupun pembingkaian Prabowo yang dilekatkan dengan gemoy relatif menarik untuk pemilih milenial, tapi pakar politik Fisipol UGM, Mada Sukmajati, menjelaskan pemilih milenial dan gen Z juga termasuk tipe pemilih yang moody. Mereka tidak suka materi kampanye yang berat dan mendalam, gampang sekali mengubah pilihan, bahkan bisa saja tidak memilih siapa pun (detik.com, 1/12/2023). Dengan kata lain, hari ini mereka suka sosok Prabowo, tapi belum tentu memilih jika di hari pencoblosan ternyata ada gimmick yang lebih menarik minat mereka.

Debat Pilpres perdana akan dilakukan KPU RI pada Selasa (12/12) nanti. Sebagaimana yang sudah-sudah, niscaya kian banyak lagi video dan meme terkait para kandidat yang beredar. Media massa dan media sosial akan kembali disesaki limpahan berita, kampanye negatif, kampanye hitam, termasuk ujaran kebencian (hate speech). Belum lagi muncul para buzzer, yakni pasukan siber bayaran yang siap “membunuh” lawan politik sesuai pesanan. Bisnis gelap pembunuhan karakter ini lebih dahsyat jika terjadi konspirasi antara kandidat, buzzer di media sosial, dan oknum pekerja atau pemilik media yang menyembulkan isu jadi realitas yang dikonstruksi seakan-akan suatu kebenaran (Gun Gun Heryanto, 2018).

Baca juga :  Covid-19 Rambah Klaster Keluarga, Rai Mantra Tekankan Disiplin Prokes dan VDJ saat di Rumah

Sebagai penutup, menimbang masih ada undecided voters, performa dalam debat nanti bisa menyuntik insentif elektoral bagi semua paslon, guna mengangkat akseptabilitas dan elektabilitas. Memang kubu Prabowo-Gibran belakangan selalu unggul dalam survei tinimbang Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin, tapi tidak pernah sampai 50 persen meski didukung Presiden Jokowi. Debat kandidat akan jadi ujian apakah elektabilitasnya kian menanjak atau melorot. Pula akan jadi panggung terbuka untuk mengukur apakah citra positif lewat gimmick joget gemoy, terhubung atau tidak dengan impresi yang diperoleh setelah debat kandidat. Kita tunggu bagaimana “nasib” joget gemoy nanti. Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.