JANGANKAN masyarakat awam, para kader Partai Golkar saja tergagap-gagap ketika tersiar warta Airlangga Hartarto mengundurkan diri dari Ketua Umum Partai Golkar, Sabtu (10/8/2024) malam. Turbulensi internal itu melahirkan spekulasi liar, karena berdempetan dengan waktu pendaftaran calon Pilkada Serentak 2024. Salah satu isu, ini merupakan eksekusi operasi senyap untuk melapangkan jalan figur yang direstui penguasa, pula berkelindan dengan agenda politik selanjutnya.
Sebagai nakhoda partai pemenang kedua Pileg 2024 di bawah PDIP, jelas ada yang tak beres dari keputusan Airlangga. Dia sukses menyopiri Golkar meraih 102 kursi DPR RI, melonjak dari 85 kursi di Pileg 2019. Di Pilpres, bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM), memberi kontribusi besar dalam kemenangan paslon Prabowo-Gibran. Dua catatan itu cukup mentereng jadi tiket mengampu jabatan Ketua Umum untuk kali kedua.
Sebelum Pemilu 2024, Airlangga kabarnya sudah menghimpun tanda tangan para ketua DPD provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia. Hasratnya adalah dipilih secara aklamasi dalam Munas Golkar pada awal tahun 2025. Bahwa kemudian tetiba mengundurkan diri, apa gerangan terjadi di balik tirai? Bagaimana konsekuensi politiknya di tengah negosiasi Golkar dalam KIM atau dengan partai di luar KIM, dalam penentuan calon di Pilkada?
Melihat rekam jejak sejak reformasi 1998, Golkar terbilang partai kader terbuka terkuat di Indonesia. Paling sering bertengkar di dalam tapi, ajaibnya, tetap besar. Pernah menang Pileg 2004 juga. Siapa sebagai nakhoda niscaya punya posisi tawar kuat di ranah politik nasional. Golkar ibarat cendana: harum semerbak dan menggoda. Itulah kelebihan dan, sayangnya, sekaligus kelemahan Golkar. Kemontokan Golkar sampai merangsang “orang luar” merangsek agar bisa ikut jadi pengendali Golkar.
Pengunduran diri Airlangga bisa dimaknai sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, sulit untuk tidak melihat Airlangga dalam posisi tertekan. Apa musabab dia tersandera, publik rasanya mudah menerka. Tidak jauh-jauh dari dugaan terbelit persoalan hukum, sebagaimana beberapa kali diberitakan media. Ketika tenaganya masih diperlukan, nodanya disamarkan. Ketika tugasnya usai, dia ditepikan dari percaturan politik untuk diberi “peran lain” sesuai skenario pihak tertentu. Pesan lain yang terbaca adalah, jika elite sekutu penguasa saja bisa dibuatkan tsunami politik, apalagi yang kini jadi seteru?
Dalam video pernyataan mundur yang beredar di media sosial, ekspresi Airlangga terlihat tegang. Dia bahkan sampai mengulang tiga kali menyatakan “dalam Pilpres berhasil memberi kontribusi besar dalam kemenangan Prabowo-Gibran, dan mereka akan melanjutkan kepemimpinan negara 2024-2029”. Hanya membaca dengan artikulasi pelan tapi pengucapan justru belepotan, cukup jadi penanda dia tidak fokus dengan teks di depannya. Atau bisa juga pesan tersamar bahwa dia seyogianya tidak diperlakukan seperti itu, mengingat “jasanya” untuk manut melapangkan langkah Prabowo-Gibran ke episentrum kekuasaan.
Kedua, pengunduran ini sebagai sinyal kursi Ketum Golkar yang dilepas Airlangga bisa saja dibarter dengan “bantuan” lain. Entah apa bentuk dan jalannya. Soalnya kencang bisik-bisik di internal bahwa Airlangga sempat agak sulit “dikendalikan” pihak luar saat negosiasi menentukan arah koalisi sebelum Pilpres dilangsungkan. Pun berita soal Kejagung memastikan ada update kasus korupsi minyak goreng, termasuk akan memeriksa Airlangga. Intinya, jangan sampai Airlangga jadi duri dalam daging dalam pemerintahan yang baru kelak.
Seandainya lolos sebagai Ketum Golkar dua periode, lima tahun mendatang Airlangga berpotensi kembali menjadi calon Presiden. Apalagi tercapai target kemenangan pada Pilkada Serentak 2024, tambah paten dia. Ini yang boleh jadi digergaji oleh internal maupun eksternal. Golkar sebagai partai boleh berkembang, tapi elitenya yang potensial harus “dikerdilkan” supaya tidak jadi pesaing di masa depan.
Ketiga, terendus ada agenda terselubung eksternal menginvasi Golkar dengan menumpang gelegak internal. Ini sekurang-kurangnya memecah harmoni dan mengurangi posisi tawar Golkar, baik di nasional maupun di daerah saat Pilkada. Orang lagi bimbang mencari kepastian rasanya lebih mudah diajak berunding bukan? Cara model begini juga bukan hal baru di kita.
PDI dan PPP pada zaman Orde Baru sudah kenyang dikerjain penguasa lewat aparat intelijen dan keamanan. PDIP sementara ini relatif sulit diobok-obok karena catatan sejarah, ideologi partai, dan kuatnya kontrol serta pesona Ketua Umum Megawati Soekarnoputri di mata kader. Kalau bukan “darah biru Bung Karno”, jangan dulu mimpi mengganti Megawati. Beda dengan Golkar yang, meski mirip kekuatan dan loyalitas konstituennya, ibarat perusahaan terbuka; siapa saja berpeluang jadi Ketum selama sesuai dengan “syarat dan ketentuan” berlaku.
Sejauh ini ada dua nama santer digosipkan akan didorong menduduki kursi Ketum Golkar, yakni Bahlil Lahadalia dan Gibran Rakabuming Raka. Bahlil sementara terlihat lebih berpeluang, karena dia kader Golkar cum Menteri Investasi, plus dekat dengan Presiden. Meski Gibran bukan kader Golkar, tapi bukan berarti tidak mungkin dipilih. Syaratnya, AD/ART partai untuk pemilihan Ketum “disesuaikan” demi memuluskan jejaknya. Lagian jika Gibran kemudian lolos jadi Ketum, Golkar otomatis memegang posisi Wakil Presiden, sebagaimana Gerindra mengampu posisi Presiden. Dalam perspektif pragmatisme politik, ini termasuk opsi “di mana-mana hatiku senang”.
Terlepas dari pemaknaan di atas, situasi ini nyata efek eksplosifnya pada kesiapan Golkar bergulat di Pilkada. Minimum terjadi guncangan psikologis kader, karena bahkan ikut bagian pemenang Pilpres pun tetap tidak steril dari intervensi. Kalau Airlangga mundur, akan berbeda ekses destruktifnya ketika diumumkan setelah rekomendasi seluruh calon kepala daerah (cakada) tuntas ditandatangani. Atau misalnya mundur setelah masa pendaftaran cakada selesai. Jika kemudian, karena Munaslub masih lama, rekomendasi cakada ditandatangani Plt. Ketum misalnya, boleh jadi itu akan jadi bahan sengketa baru atas legitimasinya bagi yang tak puas di internal. Gus Hendra