Faktor Kultural Redupkan Geliat Perempuan di Politik

MEGAWATI Sukarnoputri menyapa wartawan di sela-sela acara Kongres PDIP di GBB Sanur, Bali pada akhir Agustus 2019 lalu. Mega merupakan perempuan yang mampu konsisten di jalur politik sampai menjabat Ketua Umum PDIP. Foto: gus hendra
MEGAWATI Sukarnoputri menyapa wartawan di sela-sela acara Kongres PDIP di GBB Sanur, Bali pada akhir Agustus 2019 lalu. Mega merupakan perempuan yang mampu konsisten di jalur politik sampai menjabat Ketua Umum PDIP. Foto: gus hendra

DENPASAR – Masih minimnya perempuan politisi di Bali yang bisa berkiprah leluasa di ranah politik, tidak bisa dilepaskan dari faktor budaya di masyarakat. Rendahnya tingkat keseriusan mendudukkan perempuan dalam struktur partai juga ikut menambah buruk situasi. Namun, di sisi lain, perempuan juga kurang gigih berjuang dan minim strategi politik. Pandangan itu diutarakan Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Lidartawan, usai acara pelatihan peningkatan pemahaman gender bagi parpol, Rabu (4/3/2020).

Menurut Lidartawan, selama ini KPU sesungguhnya sudah memfasilitasi pengarus-utamaan gender politisi perempuan. Antara lain dengan mewajikan parpol memasang kuota minimal 30 persen calegnya berisi perempuan. Kemudian juga minta kepada parpol agar memberi 30 persen kepengurusan partai untuk diduduki perempuan. “Yang sudah berjalan selama ini baru kuota 30 persen caleg perempuan, tapi kalau untuk struktur partai belum dilaksanakan. Hanya sebatas diperhatikan saja oleh parpol,” sebutnya.

Bacaan Lainnya

Yang menjadi hambatan perempuan total berkecimpung di dunia politik, sebutnya, antara lain masih dominannya budaya patriarki. Secara praktik kultural, jelasnya, yang mengambil keputusan di tingkat banjar misalnya, semuanya laki-laki. Hal ini, ujarnya, menyebabkan apa aspirasi dan keinginan perempuan kurang atau bahkan tidak pernah diakomodir sepenuhnya. Perempuan hanya menjalankan apa yang diputuskan laki-laki.

Baca juga :  Masih Ada Truk Angkut Pasir Tanpa Faktur, Portal Selat dan Rendang Disidak

“Misalnya ada caleg memberi bantuan ke banjar, dan warga lalu kompak memilih caleg itu. Apakah dalam hal ini perempuan pernah dimintai pendapatnya? Saya rasa tidak,” sambung komisioner yang juga dosen ini.

Melihat spirit peserta acara yang bergabung dalam Kaukus perempuan Politik Indonesia (KPI) itu, Lidartawan memandang inilah momentum bagus bagi perempuan untuk lebih serius di politik. Semua itu berpotensi diwujudkan hanya jika perempuan serius menyiapkan diri, misalnya berani menolak politik uang. Dia juga mendorong KPPI jangan hanya di tingkat provinsi, karena massanya tidak jelas. Jika KPPI hadir sampai di tingkat  kabupaten/kota, sambungnya, maka KPU juga bisa menggandeng untuk sosialisasi tentang pengarus-utamaan gender. “Misalnya kalau KPU sosialisasi pilkada, KPPI bisa sosialisasi pentingnya perempuan berpolitik,” lugasnya.

Tidak hanya parpol, Lidartawan juga melihat pemerintah belum konsisten dalam pengarus-utamaan gender. Dia menukil fakta masih sedikitnya perempuan yang memegang posisi kepala OPD atau eselon 2 dalam pemerintahan di Bali. Jika diambil secara umum, tidak ada pemerintah daerah eselon 2 mencapai 30 persen, misalnya. Tak heran, kata dia, terbersit pertanyaan di masyarakat apakah perempuan yang ada di eselon 3 tidak mampu menjadi eselon2? “Lalu buat apa program arus utama gender perempuan kalau sedikit sekali yang menjadi kepala OPD? Ini perlu dijawab pemerintah,” serunya. hen

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.