Profesionalitas Penyelenggara Masuk Indeks Kerawanan Pilkada

SUASANA rapat pleno penghitungan suara hasil pemilu 2019 oleh KPU Bali yang sempat tegang, karena saksi salah satu parpol menilai penyelenggara pemilu kurang profesional dalam proses penghitungan suara di salah satu TPS di Karangasem. Foto: gus hendra
SUASANA rapat pleno penghitungan suara hasil pemilu 2019 oleh KPU Bali yang sempat tegang, karena saksi salah satu parpol menilai penyelenggara pemilu kurang profesional dalam proses penghitungan suara di salah satu TPS di Karangasem. Foto: gus hendra

DENPASAR – Setiap pelaksanaan kontestasi politik niscaya melahirkan potensi kerawanan tertentu di wilayah tersebut, dan indeks kerawanan pemilu (pilkada) ini sudah dipetakan Bawaslu RI. Salah satu isu strategis yang menjadi perhatian dalam konteks sosial politik adalah integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu. “Selain konteks sosial politik, isu strategis juga dilihat dari perspektif penyelenggaraan pemilu jujur dan adil, konteks partisipasi politik, dan kontestasi,” urai Kordiv Pencegahan Bawaslu Provinsi Bali, Wayan Widyardana Putra, Rabu (4/3/2020).

Dia menjelaskan, yang dimaksud indeks kerawanan pemilu adalah segala hal yang mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis. Indeks ini, sebutnya, sebagai alat untuk mengetahui dan mengidentifikasi ciri, karakteristik, dan kategori kerawanan. Pun sebagai alat pemetaan, pengukuran, potensi, prediksi, dan deteksi dini.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan data dari Bawaslu RI yang disuguhkan Widyardana, terdapat data indeks kerawanan pemilu di Kabupaten Karangasem yang diberi skor 47,47 terbilang paling rendah di kawasan Bali dan Nusa Tenggara dari 10 kabupaten yang dipetakan. Untuk Kabupaten Badung skornya 47,59, dan Kabupaten Lombok Tengah di NTB skornya mencapai 73,25. “Data itu diolah dari hasil pemilu 2019 kemarin, sebagai petunjuk bagi kami untuk memetakan pemilu yang akan datang. Makanya belum semua daerah didata, dan data yang paling baru akan segera dikeluarkan Bawaslu RI,’ jelasnya.

Baca juga :  57 Tahun SMPN 2 Denpasar, Semakin Jaya, Semakin Maju, dan Semakin Berkibar

Subdimensi yang tertinggi untuk di Bali dan NTB, urainya, antara lain rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada. Dia mencontohkan minimnya jumlah pemantau pemilu yang hadir untuk memastikan kontestasi berjalan jujur dan adil. Kemudian ada faktor partisipasi pemilih yang di bawah 77,5 persen, hilangnya hak pilih masyarakat, kampanye di luar jadwal, dan persoalan infrastruktur.

Hal lain yang dinilai adalah penolakan dan pengulangan pemungutan dan atau penghitungan suara, distribusi logistik terlambat atau tertukar, saksi perwakilan peserta pemilu tidak efektif bekerja, data pemilih tidak komprehensif, akurat dan mutakhir. “Ada satu lagi itemnya yakni rendahnya pertisipasi peserta pemilu dalam edukasi politik masyarakat,” urai komisioner berkacamata tebal ini. hen

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.