POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Usai melepas isu liar tentang “bocoran” Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus sistem pemilu dengan coblos partai, Denny Indrayana membuat klarifikasi melalui siaran pers, Rabu (30/5/2023). Dalam surat berkop “Integrity” yang juga nama kantor hukumnya, dari Melbourne, Australia dia membantah ada membocorkan rahasia negara. Informasi putusan MK diklaim diperoleh dari orang kredibel, bukan dari dalam MK.
Selain klarifikasi, Denny juga mengkritik soal Peninjauan Kembali (PK) dari Moeldoko atas Partai Demokrat sebagai bagian permainan kekuasaan untuk membajak Demokrat dan menjegal pencapresan Anies Baswedan. Skenario itu disebut sebagai “bagian dari Istana Kepresidenan Jokowi, lagi-lagi karena kepentingan cawe-cawe dalam kontestasi Pilpres 2024”.
Dalam pandangan akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), DR. Nyoman Subanda, isu “bocornya” putusan MK tentang pemilu sistem proporsional tertutup hanya sekadar isu coba-coba saja. Suasana kebatinan elite politik dan bacaleg, tentu di luar PDIP, yang paling dikhawatirkan dan paling bisa runyam adalah pemilu sistem tertutup dari saat ini yang proporsional terbuka atau coblos caleg. Jika diubah tiba-tiba, dengan KPU yang sudah menyiapkan sistem coblos caleg, rentan membuat kisruh.
Posisi KPU jadi lemah, dan bisa jadi ada penundaan pemilu karena banyak persiapan yang harus dilakukan. Sebab, pasti ada kekurangan administratif dan politik. “Karena itu, perubahan sistem pemilu dan putusan MK sangat berpengaruh membuat kisruh dunia politik. Makanya jadi sangat ampuh dimunculkan jadi isu. Sasaran tembaknya ya partai penguasa, PDIP, yang fraksinya satu-satunya di DPR RI ingin sistem tertutup,” bebernya.
Subanda menguraikan, publik tahu tahu PDIP mengusung Ganjar Pranowo, karena itu isunya bisa jadi merembet ke mana-mana. Termasuk ada isu bahwa jajaran KPU “dipegang” PDIP, atau Presiden petugas partai PDIP. Dengan fakta-fakta itu, sambungnya, siapa saja dengan gampang bisa membuat analisis atau hipotesa subjektif bahwa jika putusan MK adalah sistem coblos partai, maka itu by design oleh PDIP.
“Isunya akan menggelinding bahwa PDIP tetap ingin tetap berkuasa, dan Presiden ingin melanggengkan kekuasaan. Dengan menunda pemilu misalnya, minimal perpanjangan jabatan tidak bisa dihindari,” lugasnya.
Mengingat dari sembilan fraksi DPR RI hanya PDIP yang setuju sistem coblos partai, Subanda berpandangan sebenarnya permasalahan hampir selesai di DPR. Jika MK mengikuti alur seperti diputuskan DPR, sebaiknya putusan MK tidak berseberangan dengan DPR, selain juga tidak melanggar undang-undang.
“Isu bocor putusan MK itu bukan substansial, hanya sebagai pemantik saja untuk isu selanjutnya bisa digiring ke mana-mana. Yang diharap justru adalah trickle down effect dari isu ini, yaitu MK tidak netral, di belakang MK ada partai besar, MK ikut penguasa, ya bisa digoreng ke sana ke mari,” serunya.
Sebagai komparasi, Subanda menilai isu bocor putusan MK memiliki similaritas dengan pola komunikasi politik saat Pilkada DKI Jakarta 2016. Kebetulan ada kesamaan untuk Pilkada DKI dan Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan hadir sebagai calon yang diusung. Bila hari ini isu dimulai dengan netralitas MK, selanjutnya bisa bergulir pada isu perubahan, soal kampanye dan sebagainya. Sebagai puncak titik ekstrem adalah memakai isu politik identitas.
“Namanya politik, mereka akan menghalalkan segala cara untuk kekuasaan. Isu semacam ini dapat ditebak arahnya ke mana, dan bagaimana mereka mendesain. Kita bisa tahu juga siapa di belakang pembuat isu, siapa mendesain, siapa dalang atau siapa cukongnya,” pungkas Subanda. hen