DENPASAR – Partisipasi perempuan di Indonesia dalam giat politik terhitung masih rendah, padahal reformasi politik sebenarnya memberi harapan besar bagi perempuan yang selama ini hak politiknya terpasung. Kini banyak gerakan dan sosialisasi terfokus pada keterlibatan perempuan dalam politik. Sayang, di sisi lain, kebijakan pemerintah terlihat kurang mendukung perempuan terjun di dunia politik.
Hal tersebut tersingkap dalam diskusi kelompok terbatas dengan tema ”Perempuan Dalam Politik Menuju Pemilu 2024” oleh Direktorat Intelkam Polda Bali, beberapa waktu lalu.
Menurut Ketua Bawaslu Bali, Ketut Ariyani, minat keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu saat ini masih cukup minim. Hal itu antara lain karena tidak semua perempuan memiliki akses informasi yang sama.
Untuk itu, kata dia, Bawaslu selalu sosialisasi kepada masyarakat dan mengajak kaum perempuan bergabung sebagai penyelenggara pemilu, khususnya dalam mengawasi tahapan Pemilu dan atau Pilkada.
“Peran perempuan dalam pemilu tidak lepas dari penyelenggara dan pemilih, dan harus kita akui bersama tidak semua perempuan memiliki akses informasi yang sama. Kami di Bawaslu gencar sosialisasi terkait hal tersebut,” papar satu-satunya perempuan di komisioner Bawaslu Bali tersebut.
Dia menambahkan, acara diskusi kelompok terbatas kali ini merupakan salah satu langkah preventif dalam meningkatkan animo perempuan dalam berpolitik. Keikutsertaan perempuan dalam kelas politik dapat menambah wawasan dan pandangan terkait kepemiluan.
“Saya juga sangat terbuka jika nanti ada diskusi baik dalam forum dan di luar forum. Yang perlu kita ingat, demokrasi tanpa perempuan tidak akan seimbang,” tegasnya.
DAP Sri Wigunawati selaku salah satu narasumber menambahkan, payung hukum untuk perempuan dalam politik sudah tersedia. Hulunya dari Undang-Undang Politik yang mewajibkan setiap kepengurusan parpol mencerminkan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen.
Dalam Undang-Undang Pemilu, sebutnya, dalam penempatan caleg di setiap dapil juga harus memperhatikan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen dalam daftar calon legislatif. Hal ini sebagai bentuk gerakan aksi afirmatif mempercepat keterwakilan perempuan dalam politik.
“Namun, dalam implementasi memang masih harus mendapat keseriusan dari berbagai pihak, yakni pemerintah, partai politik dan masyarakat juga. Sebab, sejak wacana 30 persen keterwakilan perempuan dimulai, masih belum bisa mencapai itu. 30 persen hanya baru sampai tahap pengisian daftar calon, bukan calon jadi,” tegas mantan calon DPD RI pada Pileg 2019 tersebut.
Bahwa sampai kini cita-cita itu belum terwujud, Wigunawati menilai dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yakni aksi afirmatif masih setengah hati, sementara dari internal yakni daya juang perempuan dalam politik masih kurang.
Meski awal-awalnya faktor budaya patriarki juga menyumbang peran, saat ini dilihat tidak seperti dahulu. Justru yang banyak membatasi adalah kebijakan pemerintah, yang dituding bias gender.
“Kita lihat dari alokasi dana untuk pemberdayaan perempuan, itu sangat kecil dan dianggap tidak seksi,” lugas Ketua Bakumham DPD Partai Golkar Bali tersebut.
Selain Ariyani, hadir juga sebagai narasumber anggota KPU Bali, Luh Putu Sri Widyastini, dan diikuti peserta dari perwakilan perempuan partai politik dan anggota Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI). hen