POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Jarum jam menunjukkan pukul 14.35, ekspresi wajah Wira terlihat tegang menatap layar ponsel pintarnya, Rabu (27/11/2024). Bibir jurnalis salah satu media online sesekali bergumam tak jelas melihat. Layar ponselnya menunjukkan isi percakapan Whatsapp Group (WAG) yang sesama penghuninya melempar hasil perolehan suara Pilkada Bali di beberapa TPS di seluruh Bali. Perolehan suara paslon 1, Made Muliawan Arya-Putu Agus Suradnyana (Mulia-PAS) saling “berkejar-kejaran” dengan paslon 2, Wayan Koster-Giri Prasta.
Tidak hanya Wira, suasana senada juga dirasakan sejumlah jurnalis kala melihat perolehan suara sementara. Disadari atau tidak, mereka tersenyum ketika suara “jagoannya” unggul, tapi berubah tegang kembali ketika hasilnya ketinggalan. Situasi riuh juga terjadi di sejumlah WAG yang POS BALI ikuti. Saling klaim kemenangan di awal penghitungan suara berlangsung sengit. Bahkan data angka hasil quick count yang tidak jelas asal-usul sumbernya, juga dipakai referensi untuk menyerang “lawan” di WAG itu.
“Bagaimana hasilnya? Menang siapa Pilgub?” tanya seorang kolega kepada POS BALI, via telepon. “Sabar, masih direkapitulasi,” jawab POS BALI.
Di kesempatan terpisah, akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Dr. Nyoman Subanda, menilai kemenangan Koster-Giri disumbang dari sejumlah faktor. Dia sebelumnya pernah menganalisis jika PDIP mampu menyatukan Koster dan Giri Prasta, paslon itu pasti menang siapa pun yang jadi lawannya. Namun, belakangan dia sempat meragukan tesis itu.
“Sebab, akhir-akhir ini isu yang yang diembuskan adalah satu jalur, Prabowo effect, Jokowi effect, dan terutama logistik,” paparnya via telepon.
Selain itu, jelasnya, metode kampanye paslon Mulia-PAS juga berbeda jauh dengan Koster-Giri, yakni dengan mengadakan konser musik, jalan santai, termasuk ketika Muliawan naik helikopter saat hendak kampanye. Semua itu menandakan kekuatan logistik berlimpah. Pendek kata, jargon satu jalur memberi impresi bahwa logistiknya kuat, dan ada kemungkinan menggerakkan kekuatan “tangan tak kelihatan” secara masif ala Pilpres 2024.
“Tapi itu kan citra yang hendak dibangun. Soal apakah itu terbukti dijalankan, itu lain soal,” urainya.
Meski imaji satu jalur dirasa baik, tapi dia melihat magnet figur yang bertanding tetap menjadi modal utama, mengalahkan jargon dan logistik. Apalagi ada investasi sosial yang dilakukan sebelumnya, yang signifikan mendongkrak citra dan diri dan rekam jejaknya. Pun mengalahkan isu negatif yang diembuskan atau berkembang di masyarakat.
“Semua faktor itu terhimpun menjadi modal untuk mampu meyakinkan pemilih, terutama basis massa tradisional, untuk tetap setia. Dan, meyakinkan konstituen bahwa apa yang bagus dan bermanfaat sebelumnya, bisa berkelanjutan,” urainya.
Disinggung soal pengaruh debat kandidat dalam mengubah preferensi pemilih, Subanda memandang memberi lebih banyak insentif elektoral kepada Koster-Giri. Bahwa pertanyaan yang diajukan paslon Mulia-PAS bernada menyerang kelemahan Koster, dia mengakui itu. Hanya, pada saat yang sama juga memberi ruang bagi Koster untuk menjelaskan sejumlah isu.
“Pertanyaan paslon 1 justru memberi insentif elektoral untuk paslon 2, karena kesempatan untuk menjawab dengan data dan fakta. Masyarakat dapat dua poin, yakni jawaban paslon 2 memberi edukasi dan informasi kepada publik; dan sekaligus klarifikasi apa yang terjadi. Ini memberi efek positif, karena publik jadi menilai ternyata Koster tidak sejelek yang diisukan,” paparnya menandaskan. hen