Oleh Made Nariana (Pemred Harian POS BALI)
TIDAK percaya dengan rapid test Corona? Tidak percaya wabah dunia itu merupakan hukuman alam kepada penghuni dunia? Masih percaya bahwa Covid-19 merupakan konspirasi? Masih percaya dengan tuduhan dokter Indonesia menjadi kacung WHO?
Seorang pemuda, tanpa saya menyebut nama da asal – sebelumnya ikut demo-demo anti rapid test – kini minta ampun setengah mati kepada keluarganya sendiri. Mengapa? Salah satu orangtuanya yang doyan “melali” ke tajen terjangkit Corona.
Mula-mula batuk kering, flu dan akhirnya sesak nafas. Diajak ke dokter dan divonos positif Covid. Orangtua, di mana anaknya menjadi aktivis menolak rapid test, harus kena isolasi bersama sejumlah korban lain. Tidak boleh ditengok keluarga.
Tidak banyak yang tahu, yang bersangkutan terjangkitnya di mana. Tetapi yang jelas, belakangan ia rajin ke tajen – yang dibiarkan muncul lagi di beberapa tempat. Masyarakat menyalahartikan istilah new normal atau kondisi era baru yang diumumkan pemerintah.
Kondisi era baru, artinya masyarakat diminta hidup dalam suasana barudengan tetap menggunakan masker, jaga jarak dalam beraktivitas, dan menggunakan sanitizer. Tampaknya kondisi tersebut kurang dipahami. Banyak kalangan “bengkung” alias tidak mau tahu dengan wabah dunia tersebut.
Masih banyak masyarakat berkumpul ramai-ramai mengadakan resepsi perkawinan, upacara piodalan sampai koar-koar di tajen. Sayangnya, mereka tidak tertib melaksanakan protokol kesehatan seperti menggunakan masker, menggunakan sanitizer dan menjaga jarak!
Boleh jadi, makin banyaknya orang luar masuk Bali, juga salah satu sebab makin banyaknya korban wabah tersebut di masyarakat. Seperti cerita teman saya yang seorang pebisnis Jawa-Bali. ”Aku baru masuk Bali, nggak ada test sama sekali. Nggak ada pengecekan rapid test,” gumannya melalui WA.
Kemudian salah seorang tokoh masyarakat juga meminta saya sekali-kali melintas malam-malam di kawasan Jalan Kaliasem dan Durian. Di sana kata dia, ramai sekali orang-orang ngumpul di tempat ngopi (co-working space).
Karena penasaran, saya pun mencoba lewat di kawasan yang dimaksud itu. Astaga, memang benar apa adanya seperti yang dibilang itu. Bahkan banyak yang tak pakai masker, apalagi soal jaga jarak, tidak berlaku dalam suasana keramaian itu.
Kembali ke pemuda aktivitis yang mengidolakan tokoh “tidak percaya rapid test”, rupanya juga mulai sadar. Ia sebelumnya senang membully pemerintah di media sosial dengan dalih berlindung dibalik kata-kata mengkritik. Padahal ocehannya sangatmerendahkan dengan penuh kebencian. Sangat kasar penuh irihati, karena percaya Covid itu hanya halunisasi belaka.
Kini keluarganya mendapat bencana. Konon ia kapok dan taubat, mulai sadar bahwa yang dilakukan dan diucapkan selama ini salah. Kini ia setiap sore rajin sembahyang ke rong telu Sanggah Kemulan, mohon Sanghyang Leluhur supaya memberikan kesehatan buat orangtua yang dibanggakannya.
Nasi belum menjadi bubur. Ia juga meminta maaf kepada banjar lingkungannya, sekehe taruna-taruni, sebab selama ini ulahnya sering berlawanan dengan paruman Desa Adat sebagai ujung tombak ikut menanggulangi Covid-19 sesuai seruan pemerintah!.
Apa yang saya ceritakan ini, semoga menjadi pelajaran, bagi kita semua! (*)