POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Sejak dilantik pada September 2024 lalu, pimpinan dan anggota DPRD Bali periode 2024-2029 terbilang cukup sering menerima unjuk rasa masyarakat di wantilan DPRD. Yang terakhir adalah demonstrasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unud dan Forum Diskusi Transportasi (FDT), Kamis (27/2/2025). Meski menerima aspirasi masyarakat adalah tugas legislatif, tapi menerima frekuensi pengunjuk rasa di wantilan ini terbilang menonjol dibandingkan periode lima tahun lalu. Bagaimana para wakil rakyat memaknai situasi tersebut?
Menurut Ketua Komisi 3 DPRD Bali, Nyoman Suyasa, makin banyak elemen masyarakat yang datang ke kantor DPRD Bali menyampaikan aspirasi, berarti demokrasi berjalan semakin baik dan terbuka. Apalagi kehadiran elemen masyarakat itu semua diterima anggota DPRD. “Itu artinya sekarang ada perubahan paradigma di anggota DPRD Bali. Periode yang sekarang lebih terbuka, lebih transparan dan punya komitmen tinggi kepada masyarakat,” papar anggota Fraksi Gerindra tersebut, Minggu (2/3/2025).
Dia menguraikan, sebagai wakil rakyat dia memang punya kewajiban dan komitmen bersama masyarakat, dalam hal menyelesaikan pelbagai permasalahan di masyarakat. Pun memberi solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat. Penyampaian aspirasi sejauh ini selalu diterima, ditampung, dan difasilitasi atau diteruskan ke Pemprov Bali atau instansi terkait lainnya. Dengan demikian, sambungnya, masyarakat akan merasa bahwa aspirasi yang mereka bawa mendapat tanggapan dan solusi yang baik dari para wakilnya di parlemen.
“Selain itu, juga karena koordinasi antara pimpinan dengan anggota berjalan sangat baik. Pak Dewa Jack sebagai Ketua DPRD sangat komunikatif dan elegan dalam mengkoordinir setiap kegiatan di DPRD. Dan, itu menghadirkan semangat kebersamaan di antara kami di lembaga,” pujinya.
Bagi Ketua Komisi 2 DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih, kian seringnya penerimaan aspirasi warga di wantilan terjadi karena dari pimpinan Dewan membuka pintu lebar-lebar. Selama eksponen yang hendak menyampaikan aspirasi bersurat resmi, DPRD Bali pasti menerima. “Toh juga hitungannya masyarakat bertamu di rumahnya sendiri. Asyik kok,” kata Ajus, sapaan akrab anggota Fraksi Golkar tersebut.
Selain karena DPRD membuka diri, dia menilai seringnya unjuk rasa juga bisa dimaknai bahwa banyak persoalan terjadi di Bali saat ini. Karena banyak itu makanya warga menuntut DPRD Bali hadir menjembatani kepentingan mereka. Apakah itu juga berarti peran dan fungsi DPRD justru kian menguat akhir-akhir ini, karena periode sebelumnya tidak segencar sekarang? “Ya saya pikir begitu, menguat,” lugasnya menandaskan.
Di kesempatan terpisah, Ketua DPRD Bali, Dewa Made Mahayadnya, memandang seringnya unjuk rasa ke kantornya menunjukkan kedewasaan berpolitik masyarakat meningkat. Mereka sadar haknya dan menggunakan hak itu ketika dibutuhkan. Karena membaca perkembangan situasi itu, dia menegaskan tidak pernah menutup diri terhadap pengunjuk rasa. Yang penting mereka bersedia masuk ke DPRD, tidak sekadar unjuk rasa di depan kantor atau pintu gerbang.
“Selama mengajukan surat resmi, di era kepemimpinan saya, saya jamin kami menerima. Kenapa harus bersurat dan masuk ke wantilan? Supaya kami bisa memfasilitasi mereka di dalam, minimal menyiapkan air minum. Kalau di luar kantor, saya anggap itu bukan tamu kami,” tegas politisi PDIP asal Buleleng ini.
Disinggung demo mahasiswa juga mulai aktif menyambangi DPRD Bali, dia melihat kemungkinan karena ada “provokasi” dari luar terkait gerakan mahasiswa di Bali kurang berani turun ke jalan. Hanya, dia menyatakan kondisi Bali memang berbeda. “Di DPRD Bali mahasiswa diterima baik, sedangkan di luar Bali tidak sedikit yang sulit diterima di DPRD maupun di kantor Gubernur. Makanya di luar itu cenderung beringas dan anarkis,” tandasnya. hen