Oleh Made Nariana
SEGELINTIR orang menuntut supaya pemerintah Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan “lockdown” akibat virus Corona Covid-19. Usulan itu antara lain dituntut legislator asal Bali Putu Supadma Rudana, dari Partai Demokrat. Bahkan Supadma, daerah Bali segera melakukan lockdown.
Apa segampang itu? Saya kira tidak. Bagi Indonesia sudah jelas, lockdown akibat virus Corona harus merupakan kebijakan nasional. Tanpa seizin pusat, pertama; Bali, tidak dapat mengambil sikap seperti keinginan Supadma Rudana (POSBALI, Senen/23/3/2020, halaman 1 bawah).
Kedua; kondisi Bali juga belum memerlukan melakukan hal seperti itu sebab pemerintah sudah melakukan banyak usaha untuk meredam mewabahnya covid-19. Ketiga; masyarakat Bali banyak yang bekerja di lapangan, memerlukan usaha untuk memenuhi tuntutan ekonomi keluarga.
Kalau Indonesia atau Bali melakukan lockdown, artinya rakyat benar-benar tidak boleh keluar rumah. Tidak boleh bekerja, tidak ada toko yang buka. Ekonomi benar-benar tutup. Berbagai usaha jeda sementara sampai berakhirnya lockdown. Barangkali yang boleh bekerja hanya tenaga kesehatan di rumah sakit, dan aparat keamanan yang mengamankan kebijakan lockdown.
Bagi mereka yang berada di kalangan menengah ke atas, apalagi kaya raya kayak Putu Supadma Rudana, (dari segi ekonomi tidak kekurangan apa) barangkali tidak terasa. Hancur pun ekonomi, mereka tetap bisa makan.
Mereka yang tabungannya tebal, deposito banyak, kekayaan melimpah, un-limited dalam menggunakan kartu ATM dan kartu kredit – barangkali uenaaak tenan merasakan lockdown.
Coba bayangkan, bagaimana mereka yang miskin, tergantung kerja harian memenuhi kebutuhan sehari-hari? Bagaimana mereka yang setiap hari dikejar kredit motor, kredit rumah, pulsa anak dan cucu, makan sehari-hari dan sejenis itu? Bagaimana tukang, buruh, ojek on line (ojol), petani, nelayan dan sejenis itu? Lockdown bagi mereka akan menjadi “neraka” di dunia nyata ini.
Dari segi politis, lockdown akan dipakai kesempatan bagi rakyat yang lapar melakukan “penjarahan”, demo dan bully kepada pemerintah yang sah. Pasalnya, musuh pemerintah dalam kondisi normal saja sudah jelas kelihatan. Ada pihak yang ingin “mengganti” pemerintahan dengan sistem lain di luar asas Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Keinginan tersebut sangat kasat mata. Tidak ada yang dapat membantahnya. Banyak pengamat kontra pemerintah sudah membawa masalah Corona ini ke persoalan politik, ke persoalan ekonomi. Kenyataan memang, wabah Corona tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
Muncul pertanyaan. Mengapa negara lain dapat melakukan lockdown? Pertama; rakyatnya lebih tertib dan disiplin. Kedua; ekonomi rakyat lebih baik dibandingkan kita di Indonesia. Ketiga; rakyat kompak, bersatu dalam arti tidak ada yang membully, mencemooh, menghina dan menjelek jelekan pemrintah dan pemimpinnya. Keempat; tidak ada keinginan rakyat mereka mengganti sistem pemerintahan dengan demo-demo anarkis.
Italia sekalipun lockdown memang dianggap gagal menekan Corona sehingga korban lebih tinggi dari China, karena rakyat tidak disiplin. Masih ramai-ramai pesta, pergi ke kafe dan bertamasya sekalipun sudah dilarang pemerintah.
Oleh karena itu, Indonesia – apalagi Bali, jangan terlalu gampang menerima usulan lockdown. Apalagi usulan tersebut datang dari kelompok orang yang memang selama ini berseberangan dengan pemerintah.
Mereka menjadi oposan, yang bisa saja ingin “menjebak” pemerintah supaya tidak popuper di mata rakyat. Jika perlu, keinginan kaum oposan…. pemerintah supaya jatuh digantikan dengan sistem yang lain. Amit, amit…… (*)