SEORANG petani, tiba-tiba bertanya
kepada saya.
“Pak, di sawah ada corana nggak?”
“Nggak tahu, ada apa?,” jawab saya.
“Apa pun kondisi, petani, mungkin juga nelayan dan buruh harus tetap bekerja. Kalau tidak, sawah-ladang tidak produktif. Nelayan tidak bekerja, tidak ada ikan di pasar”, kata petani itu yang kebetulan tamatan SMP. Ia mengerti perkembangan lingkungan dari handphone dan televisi termasuk dari media sosial.
Pertanyaan petani tersebut sederhana, tapi masuk akal. Saya hanya dapat menjelaskan, bahwa berdasarkan arahan petugas kesehatan Corona alias Covid-19 hanya menyerang mereka yang imun-nya rendah. Orang yang kondisi badan lemah gampang kena virus. Musuh virus adalah kebersihan, panas. Dan penyebarannya melalui kontak badan, atau logam dan semacam itu, ganggang pintu, salaman dengan orang lain dan seterusnya.
Petani, nelayan, buruh yang kuat apalagi berpanas-panas mungkin susah diserang virus. Namun tetap harus cuci tangan setiap saat.
Kelas ini, pasti bekerja di lingkungan kotor, apalagi petani yang mencangkul, membajak pasti kotor dari lingkungan mereka.
Apa yang dapat kita pelajari dari pertanyaan petani ini? Mereka tidak mengeluh, tetapi tetap bekerja sesuai dengan kemampuannya sehari-hari. Mereka tahu wabah virus menjadi musuh bersama. Mereka juga menyaksikan para pemuda desa rutin neyempot disinfektan di lingkungan desa adat.
Selain rajin ke sawah dan ke ladang petani juga tidak banyak protes dan mengeluh bagaimana pemerintah melaksanakan tugas dalam menanggulangi virus yang melanda dunia ini.
Sangat berbeda dengan kaum intelektual dan pekerja kelas menengah di perkantoran. Kelas ini menggunakan media sosial sebagai ajang memprotes, bahkan membully pihak lain. Baru sehari di suruh tinggal di rumah, apalagi di PHK sementara, mereka banyak mengeluh.
“Apa yang saya makan hari ini? Di mana Bupati, Gubernur, Presiden? Mana sembako yang dijanjikan. Kok omdo–omong doang!. Tidak becus tangani rakyat. Kurang ini, kurang itu…, mestinya harus begini, harus begitu…. dan seterusnya”.
Pokoknya isi keluhan mereka di media sosial seperti sudah dunia mau kiamat. Padahal sebelumnya mereka menikmati — nikmatnya hidup. Menikmati gemericing dollar. Sudah mampu menyekolahkan anak-anak dan paling tidak sebelum wabah, kelas ini sudah ada yang juga menikmati sebagai pejabat-pejabat menengah dan pejabat tinggi di negeri ini.
Sungguh sangat berbeda dengan petani. Mereka hanya dibela saat menjelang kampanye pemilu atau pileg. Setelah itu, petani kembali bekerja, bekerja dan bekerja. Dalam situasi seperti sekarang pun mereka tetap bekerja.
Virus Covid-19 tidak mengenal kelas, tidak mengenal agama, asal-usul, tradisi dan pangkat. Banyak pejabat terjangkit virus. Banyak juga rakyat biasa menderita karena Corona itu. Sangat memprihatinkan petugas kesehatan sekelas dokter juga banyak meninggal karena berjuang di garda depan menyelamatkan orang lain. Mereka sendiri juga menjadi korban nyawa.
Menghadapi virus ini, tidak akan selesai dengan mengeluh, memprotes, apalagi menjelek-jelekkan orang lain.
Mencaci maki atas dasar kebencian, memfitnah karena tidak adapat jabatan merupakan sikap yang kurang etis di tengah kesulitan ini. Seharusnya semua komponen masyarakat bersatu padu melawan virus yang mematikan.
Saya yakin, semuanya mengalami masalah dengan kondisi masing-masing. Apalagi harus tinggal di rumah, tidak bekerja – lalu yang di makan apa?
Pemerintah pasti sudah memikirkan. Tetapi harus bersabar, karena mereka bekerja untuk orang banyak. Pasti ada kekurangan, seperti apa yang juga kita alami di rumah tangga masing-masing.
[Made Nariana,wartawan sk. POSBALI]