DENPASAR – Kian ditelusuri, makin terlihat bagaimana muramnya gambaran Pemilu-Pilkada Serentak 2024 di mata petugas penyelenggara di bawah. Keletihan fisik luar biasa, bahkan menyebabkan ratusan penyelenggara gugur, dalam proses pemungutan-penghitungan suara seperti pada Pemilu 2019 masih membayangi. Adanya sistem yang mempermudah tahapan pungut-hitung dinilai mesti tersedia dan teruji sejak awal.
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Denpasar Barat, Linda Puspayanti, bertutur, dia pribadi masih trauma dengan pengalaman Pemilu 2019 itu. Kala itu dia menjadi KPPS, dan kepayahan menangani lima kotak suara karena bekerja sejak pagi sampai pagi keesokan harinya. Jika sistemnya masih sama, dia menilai akan mempengaruhi saat rekrutmen lembaga ad hoc kelak.
“Akan banyak orang menolak bergabung menjadi penyelenggara. Kalau bisa pemilihannya dipisah saja, jangan dibuat serentak lima kotak lagi,” ucapnya, Rabu (3/2/2021).
Menurutnya, kalaupun tetap dilaksanakan seperti tahun 2019, dia berharap teknis pelaksanaan dipermudah. Alat pendukung penghitungan seperti aplikasi Sirekap mesti siap pakai pada saat itu, jadi bukan sebatas uji coba. Linda mengakui Sirekap sejatinya sangat membantu penyelenggara, meski di Pilkada 2020 hanya sebagai alat sekunder.
Meski banyak kerumitan terbayang, dia mendaku masih mau menjadi penyelenggara ad hoc, karena sejauh ini menikmati pekerjaan musiman itu. “Kerumitan akan jadi tantangan baru untuk diselesaikan,” tandasnya.
Opini senada dilontarkan Ketua PPK Denpasar Utara, Made Putra. Pemilu 2019 saja sudah sulit, apalagi jika Pemilu dan Pilkada 2024 dijalankan pada tahun yang sama. Implikasinya juga tidak kecil. Sama dengan pandangan Linda, dia juga melihat rekrutmen KPPS akan kesulitan karena masih trauma. Apalagi durasi waktu penghitungan suara akan sama seperti 2019. Belum lagi potensi KPPS kesulitan memahami regulasi, baik teknis maupun nonteknis.
“Alat bantu digitalisasi dan manual tidak akan banyak membantu untuk efisiensi waktu penghitungan suara di tingkat KPPS, PPS dan ke atas karena serentak. Kampanye tidak efektif dan pasti bertabrakan antarpartai pengusung (di Pilpres) dan partai itu sendiri (di Pileg),” ulasnya.
Sudut pandang berbeda disampaikan Sekretariat PPK Denpasar Utara, Hendry. Dari pengalaman yang ada, dia melihat Pemilu Serentak siap diadakan jika ada separasi waktu sedikitnya lima bulan antara pemilu legislatif dan eksekutif. Dia menekankan petugas penyelenggara dari KPPS, PPS sampai PPK harus benar-benar kompeten, bukan sekadar “orang titipan”.
“Tapi lihat juga kemampuan dan pengalamannya. Selain itu regulasi harus tepat, dalam artian jika rencana A tidak bisa berjalan, segera diganti dengan rencana B agar tidak ada kendala pada hari H,” jelasnya.
Antisipasi jika benar Pemilu 2024 sama dengan 2019, dia berujar sebaiknya KPPS diberi tambahan waktu sampai dua hari untuk merekapitulasi suara. Dengan demikian mereka dapat istirahat sewajarnya, dan tidak ada kelelahan saat penghitungan. Pun usia KPPS harus dibatasi jangan sampai terlalu tua yang berisiko kesehatan, daya serap pikiran, dan kemampuan mengoperasikan teknologi informasi.
Sementara bagi Ketua PPK Denpasar Utara, Putu Candra, jelas terasa berat untuk penyelenggara ketika dua hajatan besar pada tahun yang sama. Selain tahapannya juga bersamaan, lagi-lagi peristiwa kelam penyelenggara pada Pemilu 2019 tidak mudah dilepaskan. “Beban kerja tinggi, istirahat sangat singkat waktu itu, banyak petugas meninggal karena kelelahan,” urainya menandaskan. hen