Musda Golkar Ditunda; Untung Sugawa atau Demer?

Gus Hendra. Foto: IST
Gus Hendra. Foto: IST

MUSDA Partai Golkar Bali yang dijadwalkan 23 Mei lalu ditunda, entah sampai kapan. Cerita serupa terjadi untuk Musda Partai Golkar NTB, yang diagendakan sehari setelah di Bali. Ketidakhadiran Ketua Umum Bahlil Lahadalia jadi musabab terantuknya pelaksanaan kedua Musda ini.

Khusus di Bali, meski DPD Golkar Bali menegaskan tidak ada unsur politis, tapi wacana dan rumor ada apa di balik penundaan Musda terus menggelinding. Makin liar ketika ditautkan dengan rivalitas antara Sugawa Korry selaku Ketua DPD Golkar Bali petahana dengan penantangnya, Gde Sumarjaya Linggih (Demer). Sama-sama menggalang dukungan dari para prinsipal alias pemegang hak suara, Demer sementara diyakini merengkuh lebih banyak dukungan untuk menggusur Sugawa. Namun, karena ada penundaan, pertanyaan yang muncul adalah apakah komposisi dukungan masih tetap bertahan? Tidakkah momentum ini berisiko dieksploitasi menggoyang dukungan, baik kepada Sugawa atau Demer?

Bacaan Lainnya

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, melihat konteks dan dinamika sebelumnya, Musda 2025 ini bisa ditabalkan sebagai Musda rasa emosional. Balik ke Musda 2020, Demer sebagai Plt Ketua DPD Golkar Bali yang sedang di atas angin, justru “melapangkan jalan” untuk Sugawa memimpin Golkar Bali, dengan “perjanjian tertentu”. Demer “mengalah” dengan tetap menjadi pengurus DPP Golkar. Sayang, belum genap setahun, keintiman mereka jadi bersimpang jalan, bahkan menjurus ke personal.

Baca juga :  Ini Kunci Utama Ketut Mertayasa Sukses Sumbang Emas untuk Bali

Dimulai dari penentuan pilihan calon Golkar pada Pilkada Badung 2020, perseteruan berlanjut proses penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) sejumlah kader di Pileg 2024. Persabungan merembet pula ke Pilkada 2024 gegara beda visi dan motif dalam membawa Golkar ke gerbong paslon yang mana. Sugawa menang di awal karena mampu memastikan Golkar menantang PDIP di Pilkada Bali dan Pilkada kabupaten, kecuali di Kota Denpasar, tapi hasil akhirnya Demer yang menang betulan. Demer lolos ke Senayan untuk kali kelima, sedangkan Sugawa gagal dua kali; baik sebagai DPR RI dan kalah di Pilkada Buleleng 2024.

Salah satu handicap Sugawa adalah ketidaksukaan sejumlah kader dalam drama penyusunan DCS Pileg 2024, dan kini mereka sebagai pemilik hak suara di Musda. Sebaliknya, Demer terlihat heroik karena memperjuangkan kepentingan kader tersebut di DPP. Uniknya, ada kader yang ditolong Demer, adalah orang yang sempat mendongkel Demer saat menjadi Plt Ketua DPD Golkar Bali tahun 2019. Dari sini Demer dilihat sebagai politisi dewasa, rasional, dan punya ambisi tapi tidak pendendam. Rasa terima kasih itu yang kini diwujudkan dengan pagi-pagi menyatakan dukungan ke Demer.

Kembali ke soal penundaan Musda, situasi ini dapat dimaknai sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, menjadi wahana kader pemilik hak suara untuk rekalkulasi pilihan, sekaligus renegosiasi dengan kandidat. Secara psikologis, orang yang menanti dalam waktu tidak ditentukan cenderung mudah bosan, merasa kurang aman, rasionalitas terganggu, dan rentan mengusik keteguhan pilihan. Si A yang semula bermesraan dengan kandidat B, karena lelah menanti, bisa saja malah jadi berpunggungan.

Baca juga :  Atasi Dampak Kenaikan BBM, Fraksi PDIP DPRD Mataram Desak Anggarkan Bansos

Peluang itu terjadi dapat dieliminir jika calon yang maju memiliki nilai plus di mata kader. Secara alamiah, untuk alasan ekonomis, kader niscaya mendukung kandidat yang dipercaya (dan terbukti) memiliki logistik lebih dari cukup untuk kegiatan partai. Pun diyakini royal saat Pileg guna membantu mendulang suara, bukan malah merecoki, apalagi terbalik minta bantuan logistik ke kader. Singkatnya, layak diharap mau berbagi “kebahagiaan” kepada kader.

Kedua, penundaan dapat menjadi momentum bagi kandidat merekonsolidasi kekuatan. Bagi yang merasa kurang gahar, masih ada ekstra waktu menggalang pendukung agar mau masuk barisan. Sebaliknya, bagi yang saat ini merasa dukungannya kuat, mesti mampu merawat permufakatan yang dijalin sebelumnya. Lengah sedikit, komposisi sekutu bisa beringsut.

Membincang tabiat alamiah Golkar yang selalu (dan karena itu berjuang) mendekat ke kekuasaan, maka siapa yang pegang jabatan memiliki potensi lebih besar menjadi nakhoda. Kader tahu rekam jejak dan berdarah-darahnya perjuangan Akbar Tanjung memimpin Golkar di tengah keterpurukan dihantam tsunami reformasi. Toh saat Munas Golkar di Bali tahun 2024, para kader secara rasional menepikan Akbar dan memilih Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Golkar. Maklum, tempo itu Kalla menjabat Wapres periode 2004-2009. Soal siapa calon Ketua DPD Golkar Bali hari ini yang pegang jabatan publik, dan akses ke kekuasaan, kader dan publik sudah mafhum.

Ketiga, meski terbilang relatif kecil, selalu ada potensi terjadinya kelelahan berdemokrasi di internal. Wujudnya adalah dengan perubahan pikiran dan pergeseran dukungan pada calon. Dalam wujud ekstrem, kelelahan demokrasi dapat saja berbentuk tidak memilih A atau B yang sekarang bergulat, tapi justru memilih C yang semula tidak diunggulkan sama sekali. Misalnya ada yang berani (dan nekat tentu) mengusung jargon ABS alias “Asal Bukan Sugawa” atau “Asal Bukan Sumarjaya”, bukan mustahil ada faksi baru di Golkar Bali.

Baca juga :  Bulan Bung Karno, PDIP Mataram Berbagi Paket Sembako

Apakah mungkin ada pergeseran dukungan? Pertama, bergantung rekam jejak, dan seberapa mampu sang calon “terlihat” menjaga komitmen awal sampai dengan menjadi Ketua. Jika dua hal itu nilainya minus, sebaiknya tidak usah terlalu berharap. Kedua, apakah sang calon, terutama yang kuat, lalai atau abai menjaga konsistensi pasukannya. Ketiga, ada atau tidak perubahan angin di DPP terkait isu kandidasi dan kontestasi pada Musda nanti. Singkat tutur, selalu ada potensi muncul “Ratu Adil” jika titik didih di internal masuk dalam fase be or not to be.

Sebagai penutup, siapa pun terpilih pada Musda nanti, tantangan terbesarnya adalah mengembalikan martabat Golkar sebagai partai terdepan menguntit PDIP di DPRD Bali sejak Pemilu 1999. Posisi nomor 3 hasil Pileg 2024 setelah Gerindra, merupakan tamparan dan peringatan ada yang tak beres di internal. Selain itu merealisasi target kader menang di Pilkada 2029, atau seburuk-buruknya Golkar dalam posisi “yang penting menang”. Mampukah Ketua DPD Golkar Bali kelak mewujudkan itu? Gus Hendra

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.