POSMERDEKA.COM, MATARAM – Akademisi sekaligus Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) NTB, Miftahul Jannah, menilai dalam program kerja dalam visi–misi ketiga pasangan calon (paslon) Pilgub NTB 2024, tidak ada satu pun menjelaskan secara lugas mengenai peran perempuan.
“Padahal perempuan salah satu pemilih produktif,” sesalnya dalam diskusi yang diadakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Cabang Provinsi NTB dengan tema “Sejauh Mana Peran Perempuan dalam Program Kerja Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB,” Sabtu (9/11/2024).
Menurutnya, jumlah penduduk NTB saat ini justru rasionya 51 persen perempuan. DPT pun didominasi perempuan. Pemilih perempuan sangat menjanjikan di Pilkada Serentak 2024, tapi tidak digarap serius. “Apakah kemudian perempuan NTB tidak memiliki kapasitas dalam politik, ekonomi dan sosial? Apakah perempuan NTB tidak layak untuk menempati posisi strategis?” ketusnya.
Jika perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan daerah, akan berdampak pada Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Dari hasil survei 2022-2023, IDG NTB berada di posisi 34, di bawah Papua. IDG dilihat dari partisipasi perempuan dalam ranah politik, pendidikan dan ekonomi. Untuk keterwakilan perempuan di parlemen, juga berada di posisi 34 dari 34 provinsi dan mendapatkan 1,5 poin.
Berikutnya, Indeks Ketimpangan Gender, NTB berada di posisi pertama dari 34 provinsi, memiliki 0,6 poin. Artinya, menurut Miftah, ada kesenjangan yang sangat jauh antara keterlibatan perempuan dengan laki-laki. “Saya rasa ini pertanyaan untuk kita semua, kenapa para calon tidak menjadikan persoalan perempuan ini sebagai isu krusial? Padahal sebenarnya isu perempuan adalah isu yang paling meningkat saat sekarang,” beber Miftah.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa, visi-misi yang dihadirkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB ini masih bersifat umum. Belum menyentuh hal yang paling fundamental perihal perempuan.
Dia menyebut ada sejumlah kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut masih terjadi. Salah satunya, para paslon tidak memiliki pengalaman pribadi dengan isu-isu perempuan. “Kekerasan seksual, pernikahan dini, tingginya angka stunting, isu perempuan sebagai kepala keluarga, isu pekerja migran Indonesia, ini semuanya berkenaan dengan perempuan,” lugasnya.
Hal senada disampaikan oleh akademisi UIN Mataram sekaligus pegiat gender dan pengamat politik, Purnami Safitri. Dia melihat masih minim pembahasan tentang persoalan perempuan dari ketiga paslon, meskipun dua paslon memiliki calon perempuan. Pemangku kepentingan masih melihat kapasitas perempuan dan keterlibatannya di ruang-ruang publik, lebih banyak diberikan pada peran gender tradisional.
“Contohnya di organisasi desa, laki-laki senang kalau ada anggota perempuan, karena senang dibuatkan kopi, teh atau semacamnya. Padahal sesama anggota organisasi, posisi mereka setara,” terang akademisi yang akrab disapa Nami ini.
Menurutnya, meski perempuan aktif di organisasi kemasyarakatan, jarang menempati posisi yang sangat strategis. Ketika posisinya tidak berada di ranah pengambilan kebijakan atau keputusan, akhirnya program kerja yang dirancang oleh organisasi tersebut berjalan seperti apa adanya. “Tidak pernah benar-benar mempertimbangkan kepentingan perempuan,” ujarnya.
Bukan tidak mungkin, kondisi serupa juga terjadi di lingkup pemerintah daerah (pemda). Karenanya, dia berharap peran dan keterlibatan perempuan harus menjadi isu strategis bagi paslon di Pilgub NTB. rul