“BALI tak cuma pantai,” ucap Komang Widada, menunjuk ke areal kebun kopi saat ngopi di rumah penebukan Kampung Kopi Camp, Desa Batungsel, Pupuan, Tabanan, akhir pekan lalu. Jaket tebalnya menutupi badan yang sesekali menggigil senja itu, dan kopi panas segera diseruput agar tak lekas mendingin. Suhu area perkemahan di Subak Bukal ini terkadang mencapai 19° Celcius, karena persis di kaki Gunung Batukaru. So, seterik apapun mentari bersinar, udara tetap terasa sejuk.
Menawarkan wisata alami jadi konsep Mang Dodo, panggilan akrabnya, membuka lokasi rehat dari rutinitas. Kebun kopi seluas 65 are dikelilingi persawahan ditata sesuai selera penggemar kemah, dengan fasilitas cukup memanjakan kenyamanan. Bagi yang doyan foto-foto, pemandangan dan spot foto terbilang sangat Instagramable. Jangan khawatir kelaparan, karena tersedia rumah makan dengan menu seharga “kaki lima”.
Tersedia lima glamping kayu dengan balkon menghadap persawahan, dilengkapi kamar mandi dengan air panas, dengan tarif Rp300 ribu per malam. Sudah termasuk sarapan, dua botol air minum, dua handuk, seikat kayu bakar, dan tidur beralas spring bed. Tempat api unggun pribadi juga disediakan di setiap glamping.
Kalau memilih tenda dilengkapi matras, lampu dan dua colokan, dibanderol Rp150 ribu. Jika ingin hangat, bisa membuat api unggun di tengah halaman dengan membayar Rp15 ribu untuk seikat kayu bakar. Para camper van alias kemah dengan bermobil juga bisa datang, cukup membayar sewa lahan Rp100 per mobil.
“Ada lima kamar mandi umum, airnya dari gunung sana. Pokoknya tinggal datang, nikmati suasana, dijamin fresh pulang dari sini,” tutur pemilik usaha bengkel mobil dan pembuatan mobil off road di Dalung, Badung ini terkekeh.
Bagi yang hobi menjelajah alam, di Kampung Kopi Camp disediakan jalur trekking ke perkebunan kopi dan persawahan menuju pancoran air. Bisa juga mendaki Gunung Batukaru sekitar 3-4 jam. Jika ingin suasana lain, ada paket tur mobil jip mengintip keindahan air terjun Blemantung di Desa Pujungan yang berjarak sekitar 2,5 km. Dilanjutkan melihat proses pengolahan kopi, sekalian jadi oleh-oleh khas Pupuan.
Membangun bumi perkemahan, tuturnya, adalah mimpi lama untuk menjual potensi sekaligus memajukan perekonomian kampungnya. Sebab, selain kopi, Batungsel nyaris tidak dikenal meski ada potensi wisata alam dan agrobisnis. Persis saat pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu, dia memberanikan diri mewujudkan mimpi itu, dengan “berdarah-darah” tentunya.
“Modal awal cukup besar, karena harus meratakan dan merapikan lahan, mengisi tanaman, dan fasilitas pendukung. Syukurnya, karena pakai konsep alami dan unik, semua bahan glamping pakai kayu dan genteng bekas. Jadi, bisa efisiensi biaya,” kisah Sekretaris PAC PDIP Pupuan itu.
Selain itu, sambungnya, dia merasa tertantang dengan opini keindahan Bali seakan identik dengan pantai. Padahal keindahan dalam bentuk lain banyak tersedia, cuma belum digarap optimal. “Saya ingin desa lebih maju, dan tempat kemah ini ada efek ekonomi berantai. Minimal desa lebih dikenal karena dipromosikan di media sosial, dan makin banyak yang melirik Batungsel juga,” ungkapnya, diselingi ngobrol ringan dengan sejumlah tamu.
Sejak dibuka awal Januari 2022 lalu, ujarnya, tamu dominan masih lokal dan domestik. Rerata mereka menginap dua malam. Untuk pasar wisatawan asing, diakui belum begitu menggembirakan. Pentas musik dan outbond, kata dia, juga bisa, tapi mesti blok tempat dulu.
“Beberapa kali di sini ada pentas musik lokal maupun nasional. Komunitas motor juga sering, tapi biasanya tidak menginap, cuci mata aja,” kelakarnya.
Ayu, asal Denpasar, yang bersama keluarga menginap di glamping, mengaku puas menikmati suasana alam di Kampung Kopi Camp. “Kalau ke sini cuma semalam pasti kurang puas, minimal dua malamlah. Asyik, dingin-dingin bikin api unggun sambil bakar jagung ama anak-anak,” kisahnya sebelum pulang.
“Enak bisa main lari-larian di sini, tempatnya luas. Bisa jalan-jalan ke sungai lewat kebun kopi, airnya jernih,” imbuh Bisma, bocah kelas 1 SD yang tumben mencicipi berkemah. hen