“Anda sebagai wartawan di Bali, mungkin sudah tidak sensitif dengan lingkungan sendiri. Saya melihat, banyak hal dapat menjadi berita besar di Bali,” kata Jakob Oetama.
PENDIRI Harian Kompas dan tokoh pers nasional, Jakob Oetama (JO), telah meninggalkan kita sebagai bangsa dan insan pers untuk selama-lamanya. Sebagai tokoh pers, almarhum mendapat kehormatan militer dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kamis (10 September 2020).
Jakob Oetama, yang selalu menjadi rujukan wartawan Indonesia, meninggal dunia sehari sebelumnya, yakni bertepatan dengan Hari Olahraga Nasional (Haornas), Rabu (9 September 2020) dalam usia 88 tahun, karena sakit dan sudah umur.
Semasih aktif sebagai wartawan dan pemimpin redaksi Kompas, JO tampil sangat sederhana. Dalam berbagai kesempatan memberikan wejangan kepada wartawan muda, ia berbicara data-datar saja, namun penuh humor. Jiwa senimannya juga sangat kental. Ia sering bercerita seperti sastrawan tapi dikemas dalam bentuk jurnalistik modern, sehingga selalu menarik untuk diikuti.
Saya tidak pernah bosan, jika mengikuti penuturan seorang JO, yang memang berhasil mengembangkan usaha Harian Kompas. Di masa lalu berita Kompas selalu menjadi rujukan pejabat-pejabat tinggi di Jakarta. Beritanya berbobot, tata bahasanya memenuhi syarat bahasa pers. Hampir tidak ada kesalahan.
Saat pemerintah orde baru melarang koran terbit lebih dari 26 atau 32 halaman, Kompas sedang jaya-jayanya. Secara ekonomi, Kompas kelebihan dana akibat pendapatan iklan. Konon karena kelebihan dana itu dipakai mengembangkan Grup usaha lain sepertio Toko Buku Gramedia, Perhotelan dan usaha lain.
Saya hanya mengenal, Toko Buku Gramedia yang ada di mana-mana dan Hotel Santika yang juga berdiri dimana-mana, sebagai usaha Grup KOMPAS. JO mengembangkan usaha dengan tangan dingin. Ia mempercayakan usahanya kepada orang-orang profesional dan tidak ikut campur dengan urusan tetek bengek.
Saya juga mendapat informasi, JO sebagai CEO Kompas, tidak pernah marah-marah seperti kebanyakan pemilik usaha, yang lebih banyak marah kepada anak buah. Prinsipnya, JO adalah panutan yang patut ditiru dalam usaha mengembangkan usaha di bidang media massa.
Saya ingat, ketika banyak usaha media massa nasional berkembang ke daerah-daerah di awal tahun 90-an, sehingga melalap media lokal, JO awalnya tidak ingin membuat penerbitan baru di Bali. Beliau menganggap apa yang ada di Bali sudah cukup. Hal ini sebagai sikap toleransi yang tinggi kepada rekan sesama di daerah.
Namun ketika JO mulai digantikan generasi baru dalam pengembangan usahanya, di tahun 20-an – generasi barunya berpikiran lain. Kini sudah ada media sebagai anak perusahaan Kompas di Bali, baik dalam bentuk koran maupun media elektronik.
Saya terkesan, suatu saat berdiskusi kecil dengan almarhum, ketika sama-sama menjadi anggota Dewan Pers, pada zaman Haji Harmoko menjadi Menteri Penerangan. JO sangat kagum dengan Bali. Ia mengatakan banyak hal yang dapat diberitakan di Bali. Kegiatan apa saja menarik untuk diberitakan secara nasional. Jangankan peristiwa besar yang dilakukan masyarakat, sebuah patung saja dapat menjadi berita.
“Anda sebagai wartawan di Bali, mungkin sudah tidak sensitif dengan lingkungan sendiri. Saya melihat, banyak hal dapat menjadi berita besar di Bali,” kata JO kepada saya. Dan, Saya hanya melongo mendengar pendapatnya soal Bali.
Ia seperti mengagumi pulau Bali yang dikenal dengan seribu pura ini. Ia juga mengaku senang ke Bali, apalagi Hotel Santika dan Toko Buku Gramedia sudah berkembang di daerah ini.
Pendek kata, JO merupakan idola saya, bahkan bagi seluruh wartawan Indonesia yang berakal sehat. Tulisannya bernas, gampang dimengerti, penuh dengan etika sehingga kritiknya kepada pihak lain — sekalipun tajam – diterima dengan senang hati.
Sebagai maestro jurnalistik Indonesia, almarhum sepertinya tidak punya musuh. Ia tidak pernah memanfaatkan medianya untuk memusuhi pihak lain.
Selamat Jalan Pak Jakob Oetama, semoga diterima di sisiNYA dan keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan lahir bathin. Amien. (Made Nariana, Pemred Pos Bali)