PADA Rabu (8/4/2020) ini, Majelis Desa Adat (MDA) Bali bersama kalangan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) akan mengadakan pertemuan menentukan sipeng (nyepi) tiga hari di Bali yakni pada 18,19 dan 20 April 2020. Tujuannya ikut memutus perkembangan penyebaran Corona (Covid-19).
Awalnya ide terebut datang dari Majelis Desa Adat se- Bali. Namun banyak mendapat tantangan dari masyararakat awan, praktisi, akademisi, kalangan ilmuwan bahkan juga kalangan tokoh yang dekat dengan kekuasaan di Bali.
Sekda Bali sudah memberikan penjelasan karena adanya pro-kontra tersebut. Sampai-sampai Sekda Bali Dewa Made Indra mengharapkan masukan-masukan positif mengenai rencana sipeng itu supaya diberikan dengan etika yang baik, sehingga diskusi khususnya melaluii media sosial dapat membantu kebijakan pemerintah Bali dalam menangani Corona tersebut.
Dalam sejumlah masukan dan kritik di media sosial memang ada yang memberikan masukan, tetapi ada juga yang mencemooh dan mencela dengan kata-kata kasar.
Tim wartawan portal berita www: posmerdeka.com mencatat sejumlah usulan netizen yang mungkin berguna bagi pemprov. Bali, MDA dan PHDI Bali, sehingga keputusan hari ini (Rabu, 8 April 2020) dapat memenuhi harapan sebagian masyarakat Bali itu.
Ini, kami catat sejumlah masukan. Ketut Jaman dari anggota Kelompok Ahli Pembangunan Gubernur Bali berharap, daripada membikin gaduh, sebaiknya rencana sipeng tidak dilaksanakan. Hal serupa juga dikatakan sebelumnya oleh anggota lainnya Dr. Sudjana Budhi SE, dari Unud. Ia malah ingin mengajak MDA (Majelis Desa Adat) Bali berdiskusi panjang soal rencana sipeng yang ditentangnya itu.
Netizen Sudiarta yang juga Pokli Gubernur mengusulkan cukup laksanakan Eka Brata saja. Artinya, ia juga tidak sepakat dengan konsep sipeng kalangan MDA Bali. Tokoh ini seperti yang diusulkan netizen lain lebih sepakat mengoptimalkan tupoksi satgas gotong royong, yang sekarang sudah dilaksanakan semua desa adat di Bali. Satgas tersebut dinilai sudah bekerja dengan baik, tinggal dimaksimalkan, jika perlu dibantu dengan sarana prasarana lain.
Ibu Puspawathi, anggota Kelompok Ahli Gubernur Bali menyarankan, bahwa karena kondisi Bali sekarang tidak separah DKI, sebaiknya sumber daya manusia dan pemerintah disimpan untuk berjaga-jaga jika terjadi hal yang tidak diinginkan kelak. Ia mengatakan pengeluaran untuk recorvery (penataan) pasca-Corona akan lebih berat sehingga memerlukan SDM dan sumber pembiayaan yang banyak. Sipeng tiga hari jika dilihat dari masa inkubasi Corona, jangka waktunya kurang masuk (tidak tepat). Lebih baik dilakukan sosialisasi yang gencar terhadap tindakan sosial distancing, menggunakan masker dan tinggal di rumah.
Jika anggaran cukup lakukan pengetesan terhadap komunitas masyarakat yang potensial melakukan penyebaran pandemik Corona. Tingkatkan kampanye lebih massif menggunakan masker dan menjaga jarak dalam pergaulan sehari-hari.
Pendapat netizen juga banyak di WhatsApp Grup (WAG) yang lain dari kalangan masyarakat biasa. Umumnya mereka tidak sependapat dengan ide MDA Bali melakukan sipeng, sebab akan sia-sia. Apalagi masyarakat lain akan tetap melakukan aktivitas, sebab jalur Jawa-Bali-NTB-NTT akan terus bergerak karena menjadi poros ekonomi. Apalagi yang non Hindu hanya diminta partisipasi terhadap kegiatan nsikala sipeng itu. Pasti mubazir!
Malah ada sejumkah netizen di WAG tertentu akan membawa persoalan ini ke depan hukum (artinya dilaporkan ke proses hukum) jika sipeng tetap dilaksanakan. Alasannya menduplikasi hari suci Nyepi, dan melanggar PP soal PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) yang dikeluarkan Presiden Jokowi.
Selain itu, Bali merupakan bagian NKRI yang harus tunduk dengan pemerintah Pusat. Guru Besar FE Unud Sudjana Budhi mengharapkan, Gubernur Bali jangan “terjebak” dengan ide MDA Bali tersebut, sebab jika sipeng tetap dilaksanakan sasaran tembaknya nanti Pak Gubernur, bukan Ketua MDA.
“Mari kita jaga KBS (Koster Bali Satu), sehingga tidak mengambil keputusan yang keliru,” kata Pak Dukut panggilan sehari-hari Sudjana Budhi tersebut yang sejak awal menjadi relawan KBS. (*)