“SAYA ini prajurit, ditugaskan di mana saja harus siap. Termasuk jika tidak ditugaskan,” kata Kasatpol PP Provinsi Bali, I Dewa Rai Dharmadi, dengan nada datar, Minggu (17/12/2023). Pernyataan itu sebagai tanggapan atas “terpentalnya” calon terkuat Penjabat (Pj) Bupati Klungkung ini untuk menggantikan Made Kasta, yang sempat mengampu Plt. Bupati selama 42 hari. Mendagri Tito Karnavian justru memilih Nyoman Jendrika, Inspektur di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai Pj. Bupati Klungkung. Penunjukan Jendrika hanya tiga hari sebelum pelantikan pada Sabtu (16/12/2023) jadi kejutan yang membungkam keriuhan, karena namanya tidak ada dalam daftar usulan dari Bali.
Seandainya pemilihan Pj. Bupati Klungkung tidak dalam tahun politik seperti sekarang, mungkin akan terasa biasa dan berlalu begitu saja. Namun, menimbang Pemilu dan Pilkada akan dilangsungkan pada tahun 2024 meski beda bulan, kemunculan nama Jendrika tentu melahirkan banyak pertanyaan dan, terutama, dugaan.
Dari sejumlah dugaan yang muncul, tiga di antaranya cukup berdasar. Pertama, sebagai penanda kian sengitnya pergulatan antara elite daerah dengan pemerintah pusat di tahun politik. Pemaknaan ini muncul karena latar belakang sosok Dharmadi sebagai birokrat di Pemprov Bali, dicurigai sebagai “orang titipan” Wayan Koster, Ketua DPD PDIP Bali cum mantan Gubernur Bali. Apalagi Koster disebut-sebut sampai turun tangan mengawal proses pencalonan Pj. Bupati Klungkung ke Jakarta. Sebagai catatan, Kasta adalah kader Gerindra, yang pada Pilpres 2024 posisinya berhadapan dengan PDIP. Kasta mewarisi kursi Plt. Bupati, karena Bupati Nyoman Suwirta nyaleg ke DPRD Bali dari PDIP usai hengkang dari Gerindra.
Di satu sisi, Dharmadi terlihat berpeluang paling besar karena didukung “orang kuat” di daerah. Namun, karena mudah digiring bahwa Dharmadi ada misi khusus dari orang yang mengawal, pada saat yang sama itu juga titik kelemahannya. Jadi, tidak berlebihan jika Dharmadi lebih sebagai birokrat murni yang jadi korban politik.
Sejatinya kewenangan penjabat bupati tidak benar-benar full power laiknya bupati hasil pilkada. Hanya, kekhawatiran penjabat bupati tersebut akan bergerak sesuai arah patronnya, tidak bisa dianggap remeh. Sebagai pimpinan ASN, sangat wajar ada kecurigaan penjabat bupati akan menggalang dukungan untuk figur atau partai tertentu.
Kedua, kemungkinan ada kekhawatiran Made Kasta, yang santer disebut akan kembali maju untuk Pilkada Klungkung 2024, kali ini sebagai calon Bupati, atas Dharmadi. Sinyalemen ini lahir karena Dharmadi merupakan putra asli Klungkung, dan itu berarti punya modal sosial, berpengalaman di birokrasi, dan ada potensi menggunakan periode setahun sebagai penjabat untuk mempopulerkan diri.
Ketika populer, apalagi dicitrakan berhasil membuat perubahan atau perbaikan, besar potensi Dharmadi dilirik sebagai kepala daerah pada Pilkada 2024. Dan, itu berarti akan menjadi pesaing Kasta. Situasi yang mirip terjadi pada Pj. Bupati Buleleng, Ketut Lihadnyana, yang mulai masuk daftar kandidat populer salah satu partai untuk ditandingkan di Pilkada Buleleng. Di tengah euforia hasil survei popularitas seorang figur, kehadiran sosok orang luar partai tapi populer niscaya memberi rasa tidak nyaman bagi politisi. Tinimbang jadi beban tambahan di masa depan, lebih baik figur potensial itu dibuat “layu sebelum berkembang”.
Ketiga, kejutan ini sebagai imbas kompetisi Gerindra dan PDIP dalam menguatkan cengkeraman pada Pileg dan Pilpres 2024. Memang dari segi DPT, pemilih di Klungkung hanya 167.052 orang, paling sedikit di Bali. Bandingkan dengan Buleleng yang mencapai 611.901 orang, jelas Klungkung seperti liliput melawan raksasa. Bahkan jika dikomparasi dengan Bangli yang relatif sepi, DPT Bangli masih lebih banyak dengan 195.894 pemilih.
Meski secara kuantitas kecil, apa yang dilihat mata orang awam tidak sama dengan cara pandang politisi. Sekecil apa pun, peluang tetaplah peluang untuk memenangkan paslon dan caleg tertentu. Apalagi kemenangan pada Pileg dan Pilpres akan terkait dan mempengaruhi jalannya kompetisi pada Pilkada di tahun yang sama.
Dipilihnya Jendrika sebagai birokrat murni, bukan warga asli Klungkung, tidak ada jaringan di Bali, dan “bukan siapa-siapa” terlihat akan lebih mudah diterima semua pihak sebagai cooling system atau membantu mendinginkan situasi. Kubu Kasta atau Gerindra bisa melepas kekhawatiran politisasi populisme Pj. Bupati, sekaligus menepis curiga kubu PDIP potensi terjadinya penggiringan birokrasi dan elemen masyarakat guna memenangkan paslon yang didukung penguasa. Situasi ini relatif sulit terwujud ketika yang dipilih adalah figur usulan dari Bali, yang belum apa-apa dicurigai berafiliasi atau menguntungkan kubu tertentu.
Seperti diutarakan Pj. Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, sesuai SK, masa jabatan Pj. Bupati Klungkung paling lama setahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Tugas utama seorang Pj. adalah menjaga kesinambungan pemerintahan dan pelayanan publik, menjaga stabilitas politik daerah, menjaga keberlanjutan pembangunan, menjaga ketenteraman dan ketertiban masyarakat, serta memfasilitasi suksesnya Pemilu dan Pilkada. “Gunakan waktu sebaik-baiknya, karena tugas dan tanggung jawab akan lebih berat tepat memasuki tahun politik,” pesan Mahendra.
Melihat linimasa yang ada, bisa dikatakan peluang Pj. Bupati mengondisikan arah dukungan politik relatif kecil. Sebagai birokrat, mereka tentu tidak ingin rekam jejaknya buruk setelah kembali ke ASN, karena dinilai gagal menjalankan tugas. Menghindari label buruk itu akan membuat mereka lebih konsentrasi menaikkan reputasi kinerja yang terukur, alih-alih melibatkan diri dalam kontestasi politik dengan mengeksploitasi kewenangan. Hanya, apa pun yang sesungguhnya terjadi di balik tirai, masyarakat Klungkung jelas berharap pembangunan tetap berlanjut. Bisa lebih baik lagi adalah bonus. Gus Hendra