SEORANG teman mengirim video lewat Whatsapp (WA), katanya seniman dari Kuta Utara, Badung yang berpakaian celuluk (makhluk jadi-jadian) yang curhat kepada penonton. Materinya tentang virus Covid-19 alias Corona. Pesan si celuluk sederhana yakni sekarang ada gerubug (wabah) yang juga membuat dia takut dan sembunyi di rumah. Makanya manusia diingatkan jangan ke mana-mana, dan selalu mengenakan masker serta sarung tangan. Sebagai bukti dia takut ketularan, celuluk itu juga mengenakan masker.
Sepintas lalu video itu memang untuk guyon saja, bentuk kreatif seniman yang mungkin saat membuat video lagi jenuh karena tidak boleh keluar rumah. Atau juga mungkin sekadar untuk jadi viral di media sosial. Namun, ditelisik sedikit, video itu sejatinya cara tepat sasaran untuk sosialisasi bahaya Covid-19, yang jumlah positif terjangkit dan dalam pengawasan terus meningkat. Pesan dari pemerintah di media sejauh ini terkesan elitis dan hanya kalangan tertentu yang paham, itulah soalnya. Karena tidak semua paham, kepanikan adalah buahnya.
Selama ini, dalam sosialisasi bahaya Covid-19, pemerintah seakan menggeneralisasi penerima pesan dalam satu golongan, cenderung menengah ke atas. Karena seragam itulah, sayangnya, pesan kegentingan situasi ditanggapi beragam, untuk tidak menyebut dibaikan, di kelompok masyarakat beda golongan. Terkait tipe komunikan atau penerima pesan, kita bisa melihatnya dalam sejumlah kategori.
Kita mulai dari homo religious, atau manusia sebagai makhluk yang punya keyakinan. Dalam konteks berkeyakinan, manusia bisa menjadi abai dengan rasionalitas, senyata apapun itu tersaji di depan matanya. Ini melahirkan paradoks, yakni mereka percaya ada sesuatu sesudah mati, tapi merendahkan bahaya virus yang dapat membuatnya mati. Satu video orang melasti dalam jumlah ratusan, meski sudah ada imbauan pembatasan jumlah peserta oleh Pemprov Bali dan PHDI Bali, menjadi bukti betapa religiusitas “mengalahkan” rasio tentang bahaya virus Covid-19 yang mudah menyebar di keramaian. Ada juga video sekelompok anak muda dikawal pecalang tetap mengarak ogoh-ogoh saat pangerupukan, kendati kemudian kejadian ini berurusan dengan polisi.
Bagi golongan ini, agama dan tradisi lebih penting daripada diam di rumah mengikuti imbauan pemerintah. Melasti bentuk bakti kepada dewa-dewi, mengarak ogoh-ogoh adalah cara menetralisir, bila perlu mengusir, butha kala atau segala jenis makhluk dan energi buruk. Nah, virus bolehlah dimasukkan dalam kategori makhluk buruk. Slogan kelompok ini adalah: de memada-mada atau jangan berani melawan para dewa.
Berikutnya ada homo economicus atau manusia sebagai mahluk ekonomi, yang selalu berusaha memenuhi kebutuhan diri. Masalahnya, sejak isu Covid-19 melanda Indonesia, termasuk Bali, sekarang memenuhi kebutuhan hidup jadi lebih sulit. Belum lagi pegawai diminta kerja dari rumah, harus ada distansi sosial, dan seabrek imbauan pemerintah lainnya yang meniscayakan jangan ada kerumunan. Di sisi lain, kredit mobil sopir taksi daring tetap harus dibayar, utang di LPD jatuh tempo, kalau tak kerja tak bisa dapat uang, tak ada uang tak bisa beli makan, dan lain-lain.
Singkat cerita, lebih baik keluar rumah untuk kerja cari uang, ketimbang diam di rumah tak ada penghasilan. Bukan mati karena disambar virus, tapi mati kelaparan. Bagi kelompok ini, kondisi ini dimaknai dengan “sakit dan sehat sama-sama butuh uang”.
Terakhir, ada juga homo socius atau manusia sebagai makhluk sosial yang ingin selalu ingin berinteraksi dengan sesamanya. Ini berkelindan dengan homo healthicus atau manusia yang berorientasi untuk sehat. Bagi golongan ini, situasi saat ini digunakan untuk terus mengingatkan teman-temannya agar mengutamakan keselamatan diri. Sebagus apapun tradisi dan praktik agama, tak akan jalan kalau umatnya sakit.
Mereka rajin mengirim pesan teks atau gambar video berisi cara menghadapi situasi Covid-19. Tak lupa diselipkan pesan agar kita selalu mengikuti imbauan dan petunjuk pemerintah. Slogannya yang dipakai adalah: ngoyong jumah, de bengkung. Atau secara jenaka menulis “lebih baik diam di rumah daripada diam di rong telu (tempat bersemayam luluhur setelah meninggal). Nah, itu hanya segelintir jenis manusia yang ada di Indonesia yang mesti menyerap pesan sosialisasi tentang Covid-19. Kalau sudah paham penggolongannya, semoga pemerintah bisa membuat beragam konten sosialisasi agar pencegahan virus Covid-19 bisa lebih mengena dan menggema. Video celuluk takut Corona itu misalnya, karena bagian dari budaya Bali, cocok untuk kalangan seniman dan masyarakat segala lapisan di Bali. Namun, sebagus apapun isinya, kalau cara distribusinya ke masyarakat berantakan ya percuma juga. Gus Hendra