Gandrung Pura Majapahit Dibawakan Lintas Tiga Generasi di Ajang PKB

PENAMPILAN seni Gandrung yang dibawakan lintas generasi oleh Sekaa Gandrung Pura Majapahit, Desa Pemecutan Kelod, Kota Denpasar pada Senin (1/7/2024) di Kalangan Ratnakanda. Foto: ist

POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Sekaa Gandrung Pura Majapahit, Desa Pemecutan Kelod, Kota Denpasar, tampil di ajang PKB VI pada Senin (1/7/2024) di Kalangan Ratnakanda, Taman Budaya Bali. Pementasan Gandrung ini membawakan 7 buah garapan tari dan tabuh yang disajikan apik oleh lintas tiga generasi, mulai penabuh anak-anak, dewasa hingga generasi tua.

Diawali tabuh gambang sebuah garapan tabuh kuno, dengan komposisi gending yang berpedoman pada laras pelog. Kemudian dilanjutkan tabuh dan tari berjudul Gegandrangan, menyiratkan tarian pergaulan cinta kasih ditarikan oleh laki-laki. Riuh penonton pun tampak bersemangat memberikan dukungan meski hujan melanda siang itu.

Bacaan Lainnya

Tarian ini dibawakan para penabuh lingsir atau tua. Para pengibing tampak silih berganti tampil ke panggung, baik pengibing laki-laki maupun pengibing perempuan.

Penampilan dilanjutkan tari Legong yang ditarikan tiga penari perempuan. Dan sebagai pengiring tabuh Gegandrangan dari kalangan dewasa. Kemudian tabuh dan tari Gegandrangan kembali dilanjutkan, bahkan tarian ini sepenuhnya dibawakan penari laki-laki.

Suasana berbeda mulai dirasakan para penonton ketika para pengibing pria dan wanita alami trans atau kerauhan. Para pecalangpun dengan sigap mengamankan pengibing yang tidak sadarkan diri dan harus dipercikan air suci oleh jro mangku.

Baca juga :  Pastikan Ketersedian Kebutuhan Pangan, Gubernur Koster Turun Langsung ke Banjar Serokadan, Abuan, Bangli

Menariknya, penari yang masih remaja itu dengan gemulai menari diiringi oleh para penabuh cekatan anak-anak yang terampil meski kategori rumit dan sulit memainkan bilah-bilah gandrung itu. Regenerasi Gandrung Pura Majapahit yang memiliki kekhasan dari tabuh yang disakralkan itu, mampu menunjukkan keberlanjutan kesenian sakral yang ada di Kota Denpasar.

Jro Mangku Made Yudana selaku pengayah atau mangku di Pura Majapahit menuturkan, Gandrung Pura Majapahit diamong dua banjar yaitu Banjar Muang Maning dan Banjar Samping Buni. Gandrung ini sudah diwarisi sejak 1900, dan puncak kejayaan pada dekade 1940an.

“Penabuh yang cukup terkenal saat itu adalah ada maestro I Ketut Mandra, I Ketut Godra, dan penarinya I Ketut Manda. Dalam kiprahnya kemudian kesenian Gandrung ini luar biasa, pentas di desa-desa yang ada,” katanya.

Lanjut Jro Yudana, pada tahun 1980 gamelan gandrungnya mengalami kerusakan. Kemudian mendapat perhatian dari Dinas Kebudayaan Kota Denpasar untuk diperbaiki kembali. “Tahun 1980 kita angkat kembali, saya sendiri penarinya, dilanjutkan pada tahun 1990 oleh adik saya hingga generasi ke-8, semuanya penari laki-laki,” tuturnya.

Dia mengungkapkan, keberadaan Gandrung dengan pragina semuanya laki-laki memang umumnya sangat sulit mencari penari laki-laki. Namun, dengan kesadaran rasa cinta kasih mereka yang terpilih menyanggupi ngayah sebagai penari.

Jro Yudana menuturkan, ada cerita magis di balik memilih penari laki-laki itu. Awalnya mereka penari laki-laki menolak dipilih untuk ngayah menari, namun dibalik itu ada cerita unik.

Baca juga :  Paslon Tunggal Ancam Tingkat Partisipasi Pemilih, Parpol Jadi Alat Pragmatisme Elite

“Ketika ditunjuk, dia tidak mau dengan alasan nanti dibilang banci, lalu apa yang terjadi? Contohnya ada penari Komang Enda, ketika ditunjuk dia menolak, kemudian yang terjadi malamnya dicari sama seorang dedari dan akhirnya dia ngayah sanggup menari. Selanjutnya ada penari Rubi, juga awalnya menolak dan dicari lagi oleh dedari akhirnya mau,” ungkapnya.

Jro Yudana mengakui awalnya sangat minim pembinaan, mereka yang terlibat belajar secara otodidak. “Dulu kita hanya tampilkan saat pujawali di Pura Majapahit, tiga hari setelah odalan, tepatnya Purnama keenam sekitar bulan Desember baru mepajar di Majapahit, itu pun kalau ada kerauhan,” ujarnya.

Dalam perkembangannya kemudian, sekarang pihaknya mencoba melakukan pembinaan kepada generasi muda melalui kampus. “Dari situlah kita lakukan regenerasi,” ucap Jro Yudana.

Dia juga mengungkapkan, gamelan yang dipakai adalah warisan dari maestro Ketut Godra. “Dengan semangat kita melatih, meski gendingnya agak aneh, kita pelajari dengan disiplin, ada gending berjudul Gegantrangan Banci, Cingkrem-cingkrem, Meli Nasi, dan sebagainya, akhirnya hingga kini kita masih eksis melestarikan warisan leluhur kami,” katanya.

Jro Yudana merasa bersyukur Gandrung Pura Majapahit ini bisa tampil di ajang PKB XLVI. “Astungkara di PKB ini kita tampil, kita berproses menampilkan lintas tiga generasi, tetap menyajikam original agar para generasi ini mulai sadar, inilah rumitnya membawakan gending-gending kuno,” ujarnya.

Baca juga :  Antari Jaya Negara Bantu 3 IKM Denpasar dengan Mesin Spinner Peniris Minyak

Disampaikan pula bahwa gelungan dan gamelan Gandrung ini memang disucikan. Semuanya diistanakan di Pura Majapahit, dan apabila disolahkan konsepnya mapajar. Dimulai dengan tahapan penarinya diupacarai, upakaranya dijalankan ketika ditampilkan, tempatnya juga dibersihkan, sehingga gandrung ini tetap terjaga kesakralannya. rap

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.