BANGLI – Kabupaten Bangli dikenal sebagai sentra kerajinan bambu. Seperti pembuatan champ sampai sokasi. Sejak pandemi, pasar ekspor kerajinan bambu melorot. Alhasil, perajin hanya mengandalkan pemasaran lokal.
Alih-alih kunjungan wisatawan sudah meningkat, namun belum berimbas pada pemasaran sektor kerajinan. Order yang diterima para perajin masih sangat sepi.
Ni Nyoman Parniti, salah seorang perajin anyaman bambu asal Desa Kayubihi, Bangli, ditemui Rabu (30/3/2022) mengatakan, sejauh ini pesanan kerajinan anyaman bambu masih sangat sepi.
“Kunjungan wisatawan ke objek wisata di Bali, termasuk Bangli telah meningkat. Namun pemasaran kerajinan bambu masih lesu,’’ ujarnya.
Demikian pula orderan dari pengepul seperti dari Ubud, Sukawati dan tempat lainnya masih sepi, otomatis hanya mengandalkan pemasaran lokal.
“Selama pendemi kami hanya mengandalaan pasar lokal. Barang kerajinan yang terjual tidak begitu banyak, mengingat persaingan pasar lokal ini cukup banyak,”sebut Parniti, sembari berharap pariwisata segera pulih.
Perajin bambu lainnya, Dek Ary juga mengungkapkan hal yang sama. Sejak pandemi melanda, pemasaran kerajinan anyaman bambu hanya bertumpu pasar lokal. Sementara pembatasan kegiatan upacara agama yang juga dibatasi lantaran pandemi juga berpengaruh pada pasar lokal.
“Kalau pasar lokal biasanya yang laku adalah keben dan sejenisnya. Untuk harga, kita juga terpaksa turun, kalau dulu dijual Rp 100 ribu, sekarang 85 ribu hingga 90 ribu per buah yang penting laku dan tidak rugi,’’ ujarnya menandaskan. gia