DENPASAR – Munculnya sejumlah tokoh mendaftarkan diri sebagai bakal calon DPD RI, termasuk petahana, menjadi sinyal positif menguatnya partisipasi terjun ke politik praksis. Hanya, kinerja DPD RI, tidak berbanding lurus dengan eksistensi mereka. Kontribusi mereka secara politik juga tidak jelas. Demikian diutarakan akademisi FISIP Undiknas, Dr. Nyoman Subanda, dimintai pandangan terkait eksistensi lembaga DPD RI, Kamis (5/1/2023).
Subanda berpendapat, sejatinya lembaga DPD RI hampir tidak punya peran sesuai yang diharap di awal pembentukannya, yakni sebagai perwakilan daerah di tingkat pusat. Pula kiprah dari perwakilan Bali yang ada di DPD, tidak jelas kontribusinya baik sebagai perwakilan Bali maupun dalam proses menyerap aspirasi masyarakat Bali. “Sejauh yang saya tahu, akhir-akhir ini hanya Pak Mangku Pastika saja yang pernah melaksanakan FGD dalam proses menyerap aspirasi masyarakat. Yang lainnya belum terdengar aktivitasnya, bahkan ada yang hanya mencari panggung di tengah-tengah kisruhnya masyarakat,” sebutnya tanpa merinci lebih detail.
Berdasarkan survei kecil-kecilan yang dijalankan di kalangan milenial, Subanda mendaku hampir tidak ada yang mengenal dan tahu siapa saja anggota DPD dari Bali. Konklusi yang bisa dipetik, sebutnya, jika namanya saja tidak dikenal, apalagi kegiatannya. “Itu artinya keberadaan mereka tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerjanya di mata masyarakat,” paparnya.
Meski terkesan sebagai lembaga yang “ada dan tiada”, Subanda tak memungkiri DPD RI masih mampu menjadi magnet yang kuat untuk politik praksis. Di Bali, dari 26 orang yang mengambil akun Silon, 22 orang dinyatakan lolos ke tahap verifikasi faktual. Data itu menunjukkan relatif tingginya animo tokoh masyarakat berkiprah di ranah publik melalui DPD RI.
Tetapi, sambungnya, DPD RI juga cenderung sebagai alternatif “pelarian politik” oleh para tokoh. Pun dapat menjadi tempat mengadu nasib para politisi yang tidak mengambil atau tidak kebagian jalur DPR RI. Dari beberapa tokoh atau elite politik yang mendaftar tersebut, dia melihat juga banyak yang belum paham, atau bahkan sama sekali tidak mengerti bagaimana persyaratan DPD RI.
“Termasuk strategi dan bagaimana nanti fungsi DPD ketika sudah dilantik. Ini artinya, DPD masih belum dianggap sebagai tempat memperjuangkan aspirasi daerah, tapi justru menjadi tempat mengadu nasib dalam dunia politik,” serunya.
Terkait ada dua calon muslim baru, dia berujar itu potensial sebagai pesaing petahana Haji Bambang Santoso. Pula pemecah suara di kalangan pemilih muslim. Subanda memaknai fenomena ini dengan dua perspektif. Pertama, Haji Bambang tidak lagi dianggap representatif mewakili umat muslim secara umum di Bali. Sekurang-kurangnya dipandang hanya sebagai representasi sebagian umat muslim, secara khusus adalah kelompok Muhammadiyah.
Kedua, sambungnya, Haji Bambang dinilai tidak banyak berbuat atau menyuarakan aspirasi umat muslim di Bali, sehingga perlu diganti dengan tokoh muslim lebih representatif dan diterima. Ketika maju sendirian tahun 2019, urainya, suara kelompok muslim menjadi terfokus ke Haji Bambang. Karena itu dia mudah melenggang ke Senayan, bahkan mampu menyingkirkan petahana AA Ngurah Oka Ratmadi.
“Dengan ada tiga tokoh muslim yang maju, suara muslim akan terpecah, dan bisa jadi tokoh non-muslim yang bisa merebut suara lebih banyak. Ini berarti peluang besar bagi tokoh-tokoh Bali merebut kembali posisi anggota DPD RI seperti sebelumnya, tentu bergantung strategi dan niat baik para calon untuk berkompetisi secara sehat,” pungkasnya. hen