DENPASAR – Persoalan klasik anjloknya harga saat panen menjadi persoalan klasik, dalam hal ini terkait komoditas salak. Harga terjun bebas sampai sempat menyentuh Rp2 ribu per kilogram pekan lalu. Kondisi tersebut dinilai karena Dinas Perdagangan Provinsi Bali kurang antisipatif terhadap musim panen salak.
“Panen salak ini kan musiman, berarti bisa diprediksi waktunya. Mestinya Dinas Perdagangan bisa mengantisipasi sebelum panen tiba,” kata anggota Komisi II DPRD Bali, Cokorda Gede Agung, Minggu (7/3/2021).
Dia memaparkan, sebelumnya legislatif ketika raker terkait penanganan ekonomi saat pandemi sering menyampaikan kepada eksekutif agar memperhatikan masa panen buah. Sebab, galib terjadi harga buah anjlok karena produksi berlimpah tapi tidak dapat diserap pasar. “Karena kami pernah menyampaikan, makanya kami menyesalkan kenapa kondisi (harga buah salak anjlok) ini terjadi. Kecuali kami belum pernah menyampaikan, lain lagi ceritanya,” urai Sekretaris Fraksi PDIP tersebut.
Antisipasi yang dimaksud, ulasnya, yakni Dinas Perdagangan membuat kanalisasi untuk disalurkan ke mana produksi petani itu. Jika pasar tradisional tidak mampu menyerap, Dinas Perdagangan yang menyiapkan pasarnya. Bahwa hotel dan restoran yang sebelumnya banyak menyerap buah sekarang dalam kondisi kolaps, dia berkata hal itu tidak bisa dijadikan alasan. Justru ketika kondisi seperti ini kehadiran pemerintah dengan jalan keluar terbaik benar-benar diharapkan masyarakat.
Lebih jauh diungkapkan, dalam situasi ini, apapun yang terjadi seyogianya pemerintah dapat menjadi pasar untuk menyerap salak yang tersedia. Misalnya dengan membeli salak untuk rapat dan kegiatan kerja lainnya di instansi pemerintah. “Kami tidak melihat ada kegiatan dari instansi terkait yang dirancang untuk menunjang rencana penguatan ekonomi. Mestinya Dinas Perdagangan bisa membantu Gubernur dengan menerjemahkan secara detail apa kebijakan Gubernur, terutama terkait perlindungan produk lokal,” serunya.
Cok Agung mengakui ada Pergub buah lokal, yang sedianya dijalankan Perusda sebagai penyerap. Namun, kondisi pandemi tidak memungkinkan menjalankan Pergub itu. “Mestinya kan bisa diakali dengan perdagangan lintas pulau misalnya, atau antarnegara jika memungkinkan. Bisa salaknya, bisa juga produk olahannya seperti wine salak. Prinsipnya, dicarikan jalur penyerapan produksi,” pungkasnya. hen