DENPASAR – Tidak mudah menemukan indikator bagaimana pengawasan kegiatan demokrasi itu dikategorikan berjalan atau stagnan. Ketika masyarakat rajin bertanya mengenai potensi pelanggaran, dan apa yang harus dilakukan saat menemukan pelanggaran, hal itu bisa dijadikan salah satu indikator. Pandangan itu muncul saat diskusi daring mengenai pengawasan pemilu di tengah pandemi Covid-19 oleh Bawaslu Bali, Selasa (21/4/2020).
Ketua Bawaslu Bali, Ketut Ariyani, membuka ruang diskusi terkait adanya Bawaslu kabupaten di Bali yang tidak melaksanakan pilkada 2020. Hal ini diakui memantik pandangan minor bahwa komisioner Bawaslu tersebut makan gaji buta, karena kinerja mereka selaku badan pengawas tidak terlihat oleh publik.
Kordiv Pengawasan Bawaslu Gianyar, Suniari, menyebut lembaganya tidak berdiam diri meski di Gianyar tidak melaksanakan pilkada. Dia mendaku tetap sosialisasi ke desa-desa dan acara masyarakat untuk minta waktu menyampaikan tugas dan fungsi Bawaslu. Namun, karena ada wabah Covid-19, pertemuan tatap muka dialihkan ke media sosial untuk menyampaikan larangan bagi calon yang ikut pilkada. “Kami juga menindaklanjuti surat edaran Bawaslu RI tentang sekolah kader pengawas partisipatif, dan kami akan sosialisasikan ke masyarakat agar ikut partisipasi dalam sekolah ini,” urainya.
Akademisi AA Istri Ari Atu Dewi sebagai peserta diskusi bertanya bagaimana Bawaslu mengukur keberhasilan informasi terkait pengawasan itu sampai ke masyarakat. Menanggapi itu, Kordiv SDM Bawaslu Jembrana, Wartini, menjawab institusinya rutin membagikan setiap informasi melalui media sosial yang dimiliki Bawaslu. Bagaimana masyarakat merespons di mesia sosial, termasuk bertanya langsung melalui ponselnya, dimaknai sebagai keberhasilan komunikasi yang dilakukan. Dia menambahkan, wabah Covid-19 tentu sangat membatasi gerak dalam bertugas. Untuk itu menggunakan tenologi informasi menjadi keharusan bagi mereka, baik untuk pengawasan maupun berkoordinasi. hen