DENPASAR – Kekhawatiran Bawaslu Bali protokol penjarakan fisik di TPS menjadi sumber kerawanan terjadi kecurangan saat penghitungan suara, direspons berbeda oleh KPU Bali. Argumennya, distansi fisik dengan menjaga jarak 1,5 s.d. 2 meter tidak otomatis mereduksi kecermatan saksi dan pengawas TPS terhadap kinerja KPPS. “Bagi saya tidak ada masalah. Tapi biar aman, kami akan buat simulasi untuk memastikan tingkat kerawanannya,” kata Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Lidartawan, Selasa (2/6/2020).
Lidartawan memaparkan hal itu sebagai respons atas pernyataan anggota Bawaslu Bali, Ketut Sunadra, menyebut penjarakan fisik rentan menghadirkan masalah pengawasan, Senin (1/6/2020) lalu. Salah satu yang paling mungkin terjadi, menurut Suandra, pengawas pemilu tidak dapat melihat jelas hasil coblosan di surat suara. Dalam kondisi normal saja selalu ada peluang KPPS tidak netral dalam bekerja, apalagi dalam kondisi pandemi seperti sekarang.
Lebih jauh disampaikan Lidartawan, saat ini sebaiknya tidak dulu melihat potensi kerawanan yang terjadi. Karena KPPS juga memiliki hak pilih, maka memang bisa saja mereka menyalahgunakan kewenangan yang ada untuk kepentingan politik mereka. Justru hal itu yang ingin didiantisipasi KPU sejak awal, antara lain dengan melakukan simulasi.
“Dalam simulasi nanti kita akan bisa melihat jelas, dalam jarak sedekat apa dia bisa melihat surat suara itu. Kalau hanya dua meter, saya rasa masih bisa terlihat itu,” urainya.
Lebih jauh dipaparkan, petugas KPPS tidak hanya membacakan saja pilihan yang ada di surat suara. Mereka juga harus bisa menunjukkan di mana posisi lubang coblosan pemilik hak suara. “Kalau sudah ada simulasi itu, kita bisa menghindarkan kecurigaan tidak jelas dari siapa saja. Tapi apapun itu, kami berterima kasih atas saran dan masukannya, karena pilkada ini demi kita semua,” ungkap mantan Ketua Bangli tersebut.
Ketua KPU Denpasar, Wayan Arsajaya, yang ditemui terpisah, mengaku siap untuk simulasi pemilihan di TPS. Dia juga mengabarkan, dalam rancangan peraturan pemilihan disebut akan disediakan bilik khusus bagi pemilih yang diduga terpapar Corona. Praktiknya, semua pemilih akan diperiksa suhu tubuh dengan thermo gun (alat pengukur suhu tubuh) sebelum masuk TPS. Bagi yang suhunya di atas rata-rata, mereka menggunakan bilik khusus itu. “Tapi itu baru rancangan, belum pasti juga,” katanya.
Terlepas apa opsi peraturan itu kelak, tegasnya, yang jelas hak suara pemilih wajib diberikan penyelenggara pilkada. Hanya, bagi pemilih yang dirawat di rumah sakit karena Corona, Arsajaya berkata belum ada kepastian ke arah itu. KPU juga wajib mendengar saran dan masukan tenaga kesehatan dalam kondisi itu. Apakah mungkin bisa membuat TPS khusus pasien Corona? “Wah, kalau ada TPS khusus Covid begitu, kok rasanya ekstrem dan terlalu ambil risiko ya?” jawabnya terkekeh. hen