PERNYATAAN Putu Agus Suradnyana, dalam satu siniar (podcast) lokal, berniat masuk ke gelanggang Pilgub Bali 2024 cukup banyak banyak menyedot perhatian publik. Seakan dia sosok yang baru terjaga dari tidur panjang, dan tetiba berpikir,” jadi calon Gubernur ahh.” Baliho bergambar dia pasangan dengan Ketua DPD Partai Gerindra Bali, Made Muliawan Arya (De Gadjah), cukup banyak bertebaran di kampung halamannya, Kabupaten Buleleng. Seberapa serius kiranya dia ingin menjadi calon Gubernur dan menantang calon yang ditandingkan PDIP?
Bila dirunut, pernyataan bernada eksplosif itu berpijak dari rasa sakit hati sang Ketua DPC PDIP Buleleng kepada partainya sendiri. Istrinya, IGA Aries Sujati, dicoret dari Daftar Calon Sementara (DCS) PDIP untuk DPR RI pada medio Oktober 2023 silam. Anggota Komisi 4 DPRD Bali itu digusur untuk diganti IGA Fourina Gamaniswari, tanpa alasan jelas. Situasi ini membuat Suradnyana berang, dan memaknai sebagai konspirasi sejumlah pihak di partai untuk menggergaji karier politik istrinya.
Jika tanpa konteks bersifat personal semacam ini, mudah memaknai pernyataan dia sekadar cari sensasi. Namun, berbeda ceritanya bila menimbang kasak-kusuk soal relasi antara Ketua DPD PDIP Bali, Wayan Koster, dengan Suradnyana agak dingin beberapa waktu terakhir. Pun, melihat ada momentum legal bernama Pilgub Bali sebagai peluang untuk Suradnyana “balas dendam” kepada figur tertentu di partainya. Alih-alih tersandera dengan status Ketua DPC PDIP Buleleng yang disandang, dia memilih frontal dan menabuh genderang perang.
Kini, dengan asumsi dia serius, seberapa mungkin melihat Suradnyana menjadi salah satu kontestan Pilgub Bali? Untuk bisa tampil ke Pilgub, mesti dilihat dulu koalisi partai mana yang akan mendaulatnya ke Pilgub, entah sebagai calon Gubernur atau calon Wakil Gubernur. Jika melihat pergerakan Koalisi Indonesia Maju (KIM) masih mencari calon Gubernur layak tanding, bisa saja Suradnyana dilirik jadi salah satu opsi untuk head to head. Atau, boleh jadi Gerindra (11 kursi) mengambil salah satu partai dalam KIM, Nasdem (2 kursi) misalnya, sebagai pengusung.
Suradnyana jadi opsi karena, pertama, dia orang Buleleng dengan jumlah pemilih 611.000 lebih, terbesar di Bali. Palagan Pilkada niscaya melihat unsur keterwakilan demografi, dan Suradnyana terlihat menjanjikan di titik ini. Sejak Pilgub langsung digelar mulai tahun 2008, selalu dimenangkan putra Buleleng yang menjadi calon Gubernur, bukan calon Wakil Gubernur. Kemenangan Mangku Pastika pada Pilgub 2008 dan 2013, serta Wayan Koster pada Pilgub 2018, karena mereka dikonstruksi sebagai representasi dan kebanggaan warga Buleleng.
Kedua, menjabat Bupati Buleleng periode 2012-2022, jelas dia termasuk tokoh berpengaruh di Buleleng. Terlepas kemenangan di Pilkada Buleleng karena PDIP sebagai mesin partainya memang berotot kekar, tapi faktor akseptabilitas dan elektabilitas personal juga tidak bisa dianggap sepele. Tetapi, apakah pengaruhnya sekarang masih sekuat dulu, hanya survei yang dapat mengukur. Sayang, belum tersedia data valid survei untuk menakar elektabilitasnya bila dikomparasi dengan nama-nama kuat dari PDIP lainnya.
Ketiga, karena disebut terbilang pengusaha sukses, logikanya dia punya simpanan logistik. Soal cukup atau tidak, itu relatif. Singkat kata, bila benar-benar turun gelanggang, mustahil Suradnyana memakai jurus “tangan kosong”.
Melihat stok calon pemimpin yang ada potensi menang untuk Pilgub Bali ini, dengan segala kelebihan dan kekurangan, sejauh ini memang hanya tersedia di PDIP. Koster dan Giri Prasta adalah dua nama yang terus dibicarakan publik, seakan Bali hanya milik mereka berdua. Wajar, karena PDIP berkuasa di Bali sejak 1999. Jadi, strategi untuk mengalahkan PDIP antara lain ya dengan mengadu sesama kader PDIP.
Ketika benar Suradnyana berpasangan dengan De Gadjah misalnya, maka salah satu ceruk suara yang diperebutkan adalah basis massa tradisional (jika kita sepakat menyebut demikian) PDIP. Sesuai hasil Pileg 2024, PDIP mendapat suara 57,18% di Bali. Dengan asumsi itu, maka ada kemungkinan irisan antara konstituen PDIP yang loyal memilih jagoan PDIP, dengan konstituen yang aspirasinya kurang mampu dipenuhi calon yang diusung PDIP nanti.
Soal potensi menang atau kalah ketika berhadapan dengan paket Koster-Giri misalnya, secara kalkulasi politik rasional memang relatif sulit. Mengeksplorasi sentimen politik kaum milenial dan Gen Z yang sukses memberi insentif elektoral kemenangan Prabowo Subianto di Pilpres 2024, juga terlihat pelik figurnya belum sepopuler Prabowo. Lebih mudah melihat ikan memanjat pohon ketimbang melihat Suradnyana menang. Kecuali jika politisasi hukum dimainkan dan “direstui” penguasa, mungkin saja proses dan situasinya terbalik kelak di bilik suara.
Sebagai penutup, belakangan mencuat isu untuk “mempensiunkan” Suradnyana dari PDIP gegara manuvernya. Tapi jika skenario ini direalisasi, bisa jadi Suradnyana yang diuntungkan. Pertama, justru itu menunjukkan Suradnyana memang benar-benar jadi ancaman serius bagi jagoan PDIP. Dalam perang, yang disukai adalah musuh yang lemah, dan yang dibenci adalah musuh yang kuat. Kedua, respons negatif elite PDIP justru menyibak tabir ada turbulensi yang belum selesai di tubuh partai. Isu ini rentan dipakai amunisi calon penantang. Ketiga, bila benar Suradnyana mendaftar ke KPU Bali, ini akan memberi opsi baru bagi publik memilih calon pemimpinnya.
Bagi PDIP, seyogianya “tantangan” Suradnyana dipakai sebagai alarm ada yang perlu diperbaiki, dan untuk solidarity maker atau memperkuat internal. Soal cara, itu urusan domestik partai. Toh belum tentu juga Suradnyana mampu mewujudkan gertakan dia sebagai calon penantang siapa pun yang direkomendasi PDIP. Hanya, jika elite PDIP kurang bernas menyikapi, Suradnyana bisa dijadikan magnet dan simbol perlawanan bagi faksi di internal yang kepentingannya kurang terakomodir oleh Koster. So, semua bermuara kepada pertanyaan sederhana: Agus Suradnyana maju Pilgub itu cuma ilusi, atau malah jadi intimidasi bagi jagoan PDIP? Gus Hendra