DENPASAR – Jika pandemi Covid-19 belum berakhir saat tahap pemungutan suara Pilkada 2020 pada Desember nanti, kewajiban pembatasan sosial dan penjarakan fisik harus diberlakukan di TPS. Mengacu protokol kesehatan agar tidak ada kerumunan, berarti ada potensi jumlah TPS bertambah. Konsekuensinya adalah anggaran pembuatan TPD juga membengkak.
Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Lidartawan, yang dimintai tanggapan masalah ini tidak membantah jumlah TPS akan naik dua kali lipat jika ada distansi fisik. Meski begitu, dia dalam posisi tidak mau ada pengajuan tambah anggaran pilkada lagi ke pemerintah dalam kondisi pandemi ini. “Iya, memang logikanya begitu. Tapi kondisi susah begini, cari uang dari mana?” cetusnya angkat bahu seraya memperlihatkan kedua telapak tangannya, Jumat (15/5/2020).
Bagi Lidartawan, sesungguhnya tidak banyak yang harus dikhawatirkan jika pilkada diselenggarakan dalam kondisi pandemi. Yang penting semua pihak menaati protokol kesehatan yang diinstruksi pemerintah. Misalnya di TPS disediakan pembersih tangan, pemilih dan petugas di TPS mengenakan masker. Selain itu khusus petugas ditambah dengan sarung tangan karet serta dilengkapi face shield (pelindung wajah).
Secara teknis, untuk menghindari kerumunan pemilih di TPS dalam jumlah besar, bisa saja KPPS membuat pengelompokan pemilih berdasarkan jam. Nanti pemilih menggunakan hak suara sesuai jam yang ditentukan KPPS. Hanya, dia tidak memungkiri bahwa pengelompokan sesuai jam dapat membuat orang malas menunggu. Apalagi jika mereka ada keperluan lain pada saat yang sama dengan waktu pencoblosan.
Bukankah itu rentan membuat tingkat partisipasi pemilih rendah? Lidartawan menjawab pilkada semata-mata bukan berkutat soal tingkat partisipasi pemilih. Pilkada juga berkaitan dengan kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak memilih pemimpin sesuai kemauan mereka. “Coba kita berpikir dari sudut lain, jangan lagi terfokus bagaimana KPU memastikan partisipasi pemilih tinggi. Berikan masyarakat kesempatan belajar menggunakan hak politik tanpa dipaksa atau dibujuk-bujuk,” tegasnya dengan ekspresi dingin.
Justru kondisi pandemi ini, sambungnya, sebagai momentum kepada kontestan untuk membuktikan apakah mampu menggerakkan masyarakat untuk memilih mereka. Jika memang dianggap layak menjadi pemimpin, tanpa dibujuk pun masyarakat akan memilih calon tertentu. “Intinya, semakin berkualitas paslon peserta pilkada, animo masyarakat pasti tinggi. Sebab, makin berkualitas calon itu, makin besar harapan masyarakat calon itu dapat mengatasi dampak pandemi ini,” serunya.
Sebagai ilustrasi, di Kota Denpasar saja butuh 912 TPS dengan estimasi satu TPS maksimal 800 pemilih. Jika kemudian ada penjarakan fisik dan asumsi satu TPS maksimal 400 orang, maka Denpasar perlu 1.734 TPS. Menurut Ketua KPU Denpasar, Wayan Arsajaya, anggaran satu TPS senilai Rp 10,9 juta. Ini berarti untuk penambahan TPS saja butuh anggaran sekira Rp 9 miliar lebih. “Itu biaya untuk honor dan pembuatan TPS. Belum lagi biaya untuk hand sanitizer, masker dan face shield untuk KPPS,” ujarnya di kesempatan terpisah.
Senada dengan Lidartawan, dia menyebut opsi menambah TPS karena ada distansi fisik sangat kecil dapat dilakukan. Apalagi KPU RI sudah menginstruksikan jajaran untuk tidak lagi minta tambah anggaran ke pemerintah daerah akibat pandemi. Segala kebutuhan yang sebelumnya tidak dianggarkan saat pengajuan hibah, kini dikorek dari optimalisasi anggaran. “Kalau tambah TPS sebanyak itu rasanya tidak mungkin, kami minta siapa?” ujarnya terkekeh. hen