DENPASAR – Sektor pariwisata, yang memberi lapangan pekerjaan untuk 70 persen tenaga kerja di Bali, kini kolaps akibat pandemi Covid-19. Jika pengusaha di Bali tidak ada perlakuan ekonomi khusus dari pemerintah pusat, napas mereka hanya akan bertahan sampai Juli mendatang. Sumbangan devisa senilai Rp 150 triliun dari Bali ke pusat sebelum pandemi, mestinya bisa menjadi pijakan posisi tawar meminta kebijakan khusus itu.
Gagasan perlu kebijakan ekonomi khusus itu menjadi simpulan dari diskusi anggota Komisi II DPRD Bali dengan dua kelompok ahli, Oka dan Bhasma, Senin (11/5/2020). Legislator yang hadir yakni Cokorda Gede Agung, Made Budastra, AAN Adhi Ardhana dan Grace Anastasia dari PSI.
Menurut Oka, 70 persen pemutusan kerja dan PHK di Bali dialami sektor sektor pariwisata dan penunjang pariwisata. Mereka itu layak mendapat bantuan langsung tunai, minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pemprov Bali memang sudah membuat kebijakan membeli produk lokal seperti sayur, ikan dan sebagainya. Tapi kalau uang tidak ada, tetap sulit menyerap produk tersebut.
Agar fiskal pemerintah daerah bisa terjaga, dia menilai pemerintah bisa meminjam uang di lembaga perbankan yang ada. Namun, bisa dibuat kebijakan pada tahun pertama pemerintah hanya membayar bunga. Setelah tahun kedua baru membayar bunga berikut pokoknya. Itu jika ada stimulus likuiditas dari pusat.
“Sementara ini kita tidak usah urus proyek fisik dulu, termasuk perbaikan objek wisata. Sebab, sebagian besar masyarakat menganggur. Kita penuhi kebutuhan makan mereka saja dulu,” ulasnya.
Adhi Ardhana berkata, sektor pariwisata sangat terpukul sekarang. Masalahnya, jika pengusaha pariwisata stagnasi, 70 persen masyarakat yang bergantung dari pariwisata niscaya ikut terdampak. Di satu sisi pengusaha tetap berusaha menjalankan usaha tanpa pemasukan, di sisi lain kebutuhan operasional menuntut dipenuhi. Belum lagi cicilan utang harus terus dibayar.
Jika bisnis pariwisata masih bisa hidup meski tersengal-sengal, dia optimis kondisi itu memiliki efek berganda untuk pertumbuhan ekonomi Bali dalam skala kecil. Misalnya hotel membeli hasil pertanian lokal untuk konsumsi tamu, hal ini jelas membantu daya beli masyarakat juga. Karena itu, dia melihat harus ada keseimbangan ekonomi untuk Bali.
“Selama ini Bali menyumbang ratusan triliun dari devisa pariwisata sebelum ada pandemi, itu harus bisa kita eksplorasi untuk posisi tawar kita. Apa saja kebutuhan khusus untuk Bali, itu disiapkan dulu agar ketika ditanya pusat kita sudah punya jawaban,” saran Budastra dari Fraksi PDIP menimpali.
“150 triliun devisa dari Bali ke Jakarta itu sangat membantu stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan saya rasa itu bisa jadi posisi tawar. Sekarang saatnya pusat memberi kita ketenangan dengan stabilitas likuiditas perorangan dan usaha yang ada,” imbuh Adhi Ardhana.
Cok. Agung menambahkan, selama ini Bali acap dipuji dalam banyak hal oleh pusat, termasuk dianggap berhasil dalam penanganan Covid-19 secara nasional. Justru karena itu, dia memandang pusat sepatutnya memberi stimulus untuk Bali yang dianggap sukses menangani Corona. Antara lain perlakuan ekonomi khusus. Jika itu dilakukan, selain Bali bisa dijadikan rujukan secara nasional, juga akan merangsang daerah lain berlomba-lomba berinovasi menangani Covid-19.
“Kita bukan menuntut ke pusat, hanya perlu dorongan. Dewan siap merekomendasi pemerintah untuk minta kekhususan ekonomi itu,” tegas Sekretaris Fraksi PDIP itu.
Senada dengan Cok Agung, Ardhana juga mengapresiasi Pemprov Bali yang terbilang berhasil menangani pandemi. Hasil itu berkorelasi antara tingkat kepercayaan masyarakat kepada apa yang dilakukan pemerintah. “Sekarang agar kehidupan masyarakat tetap berjalan, masalah likuiditas personal dan industri pariwisata Bali ini kita minta supaya ada kekhususan dari pusat,” pungkas politisi PDIP itu. hen