Prabowo “Persatukan” Anies-Ganjar, Politik Jenaka di Meme Mesra Unta dan Banteng

MEME dengan gambar “kemesraan” antara unta (simbol partai Islam) dengan banteng (simbol PDIP). Foto: ist
MEME dengan gambar “kemesraan” antara unta (simbol partai Islam) dengan banteng (simbol PDIP). Foto: ist

POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Wacana akan bersekutunya kubu paslon nomor 1, Anies-Muhaimin; dengan paslon nomor urut 3, Ganjar-Mahfud, untuk menghadapi paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran, menghangat belakangan ini. Meski secara ideologi ada jurang lebar antara PDIP di kubu paslon 3 dengan PKS di kubu paslon 1 misalnya, tapi elitenya terlihat oke-oke saja. Situasi itu melahirkan meme dengan gambar “kemesraan” antara unta (simbol partai Islam) dengan banteng (simbol PDIP).

Menurut pandangan akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Dr. Nyoman Subanda, munculnya meme seperti itu seakan menjadi fenomena lumrah pada Pemilu 2024 ini. Dia menilai paradigma politik hari ini berbeda jauh dengan era sebelum-sebelumnya. Kalau dulu, politik itu kelihatan ekstrem, sakral dan identik dengan ketegangan.

Bacaan Lainnya

“Sekarang dengan munculnya anak muda di politik seperti Kaesang, spanduk, baliho dan beberapa caption medsos sudah berbeda. Ada politik jenaka sekarang,” papar dosen FISIP Undiknas tersebut.

Subanda sepakat bahwa meme onta dan banteng bisa dimaknai peyoratif untuk mengejek PKS dan PDIP yang sebelumnya memang acapkali berseberangan secara politik. Hanya, sambungnya, jika ditelaah lebih dalam, meme itu juga simbol penaklukan secara halus terhadap “banteng” dan “onta”, yang dulu tidak akan pernah akur secara ideologis.

Baca juga :  Layanan Antar Jemput Pasien Semakin Diminati Masyarakat, Pemkab Karangasem Bakal Kembangkan Jadi 8 Rayon

“Bisa juga dimaknai bentuk atau simbol pragmatisme kelompok kanan dan kiri tengah. Lebih dalam lagi, sebenarnya politik sangat cair dan mestinya cair. Ini simbol cair juga antara kelompok yang dulu berbeda. Siapa yang membuat cair itu? Ya Prabowo juga sebagai faktor,” cetusnya.

Soal meme apakah dari timses atau relawan Prabowo-Gibran atau bukan, bagi Subanda tidak masalah, karena tujuannya sama. Meme itu mengirim pesan bahwa sejatinya tidak ada idealisme dalam politik, ujungnya hanya soal kekuasaan. Unta dan banteng juga simbol ekstrimisme ideologi zaman dahulu, yang sekarang tampaknya mencair. Apalagi semua partai di Indonesia saat ini, meski menyebut berlandaskan ideologi tertentu, platform dan visi-misinya mirip-mirip, tidak ada pembeda.

Lebih jauh dipaparkan, narasi politik era sekarang kadang tidak terduga, bahasanya mengikuti gaya kaum milenial alias kekinian. Politik dibuat jadi kreasi dan seni. Termasuk dalam protes dan resistensi, kata-katanya dibuat jenaka, berbeda dengan dulu yang dibuat menukik dan tajam. Singkat tutur, elegan tapi lebih cenderung kreatif.

“Ini lagi tren sekarang, inilah politik di era digital. Kalau dulu kata-kata saja milenial, sekarang praktiknya benar-benar milenial,” sebutnya.

Dalam survei kecil-kecilan yang dilakukan di kalangan milenial, Subanda menyebut mereka menilai menarik politik saat ini. Berbeda dengan 10 tahun lalu misalnya ketika politik dipandang sebagai hal serius, kini dilihat ada ada unsur seni, dan ada ketertarikan anak muda masuk dunia politik. Meski motifnya cenderung hanya untuk euforia, bagia dia setidaknya itu menunjukkan jurang pemisah politik dengan anak muda tidak lagi selebar era dahulu.

Baca juga :  Duh, Wisatawan masih Berkeliaran di Pantai Kedonganan

“Sekarang digitalisasi kampanye tidak hanya soal meniru gaya anak muda, tapi juga kreativitas digital. Misalnya wajah Prabowo-Gibran dibuat lucu secara digital, kalau dulu itu bisa bikin tersinggung,” jelasnya.

Termasuk dengan, sambungnya, memakai simbol unta, banteng, atau garuda (simbol Gerindra) dan segala macam. Karena memakai simbol, maka bisa diinterpretasi banyak hal. Orang bisa mengklaim jika menguntungkan, dan mengelak jika dirugikan. Hal itu dimungkinkan karena memakai seni dan simbol, yang tidak ada batasan jelas.

Apakah meme itu ada motif pembunuhan karakter terselubung kepada paslon 1 dan 3? Subanda mengaku tidak melihat sampai sejauh itu, tapi hanya memposisikan kedua kubu satu pemikiran meski beda jalur. “Intinya, yang diserang itu kelompok lawan, dengan pesan bahwa mereka sebenarnya sama saja. Meski simbol binatang itu kurang beradab, tapi dia efektif secara komunikasi meski melihatnya secara high context,” pungkas Subanda. hen

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.