POSMERDEKA.COM, DENPASAR – Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus dideklarasikan di tingkat Provinsi Bali, bahkan sudah mengusulkan nama IB Rai Dharmawijaya Mantra-Made Muliawan Arya (Mantra-Mulia) sebagai duet untuk Pilgub Bali 2024. Hanya, di tingkat kabupaten/kota belum ada, meski KIM Plus diniatkan sampai ke daerah. Tingginya pragmatisme partai dinilai sebagai hambatan untuk menghadirkan penantang serius bagi petahana, yang dominan dari PDIP di Bali.
Akademi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Dr. Nyoman Subanda, melihat koalisi antarpartai acapkali tidak permanen dan tidak linier antara tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Sebab, tidak sama peluang, kesiapan kader, maupun kemampuan logistiknya. Di sisi lain, partai sangat pragmatis dan sangat mementingkan peluang menang dalam Pilkada. Karena faktor itu, jelasnya, setiap partai niscaya ingin berkoalisi kepada calon kepala daerah yang berpeluang menang. Pula kemungkinan akan meninggalkan koalisinya di tengah jalan.
“Dengan Pilkada yang serentak saat ini, elite partai di tingkat kabupaten tidak bisa lagi saling membantu. Mereka akan jalan sendiri, dan mereka tentu akan melakukan manuver politik yang berbeda dengan rekan-rekannya di kabupaten lain. Intinya, koalisi ini belum tentu berjalan sesuai harapan, dan belum tentu juga sama bentuk dan jumlah pesertanya di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten,” paparnya, Rabu (29/5/2024).
Melihat sebagian partai yang bergabung dalam KIM Plus kursinya minim, Subanda menilai itu sebagai bentuk partai di luar PDIP makin percaya diri mengusung kader maupun nonkader setelah melihat hasil Pilpres 2024. Demikian juga baik berkoalisi maupun tidak berkoalisi. Selain itu, dapat juga dikatakan gerakan ini merupakan uji melihat respons publik terhadap koalisi yang akan dibangun. Jadi, belum tentu juga serius dan sungguh-sungguh untuk mengusung kader masing-masing.
“Bisa juga untuk memancing agar partai lain merespons atau meminang untuk berkoalisi. Ya untuk meningkatkan posisi tawar partai terhadap partai lain atau bagi masyarakat,” paparnya.
Subanda tak memungkiri sejauh ini hanya figur dari PDIP yang “serius” dan berpeluang jadi kontestan di Pilkada, karena sebagian memang petahana. Dengan begitu, melihat hasil Pileg 2024, PDIP masih unggul di atas kertas. Selain itu, dalam sejarah Pilkada di Bali, petahana jarang kalah ke periode berikutnya.
“Melihat Pileg kemarin yang penuh dengan politik uang, dan juga perlu biaya besar, rasanya calon dari luar PDIP relatif berat untuk melawan. Walaupun ada, bisa jadi itu adalah kader PDIP yang nyebrang ke partai lain, atau tokoh sentral yang punya logistik kuat dan sudah investasi besar di masyarakat,” lugasnya.
Mengenai koalisi merekrut nonkader sebagai bakal calon, tapi potensi kemenangan belum pasti mengingat periode kampanye sangat pendek, Subanda berujar sebenarnya berharap banyak tokoh di luar partai mau maju sebagai calon kepala daerah. Misalnya pengusaha, akademisi, mantan pejabat atau tokoh lain yang memiliki kapabilitas dan rekam jejak bagus. Menurutnya, banyak tokoh hebat yang saat ini berada di luar partai tapi enggan terlibat di dunia politik karena tidak dilirik partai.
“Ada yang tidak punya uang, bahkan mungkin apatis terhadap dunia politik yang penuh intrik,” cetusnya tanpa merinci sosok mana saja dimaksud.
Kesulitan lain menghadirkan penantang petahana, imbuhnya, adalah adanya regulasi legislator harus mundur bila maju dalam Pilkada. Ini menjadi momok tersendiri bagi calon kepala daerah, karena rerata ingin mencari zona nyaman. Mereka dinilai enggan melepas jabatannya di legislatif untuk bertarung lagi di Pilkada, setelah berdarah-darah di Pileg.
“Jarang yang mau spekulasi untuk merebut sesuatu yang belum pasti menang tapi pasti mengeluarkan biaya banyak. Jadi, saya khawatir juga bahwa tokoh yang sudah di legislatif mau berspekulasi dan berjuang sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada nanti,” pungkasnya. hen