Oleh: I Gusti Agung Meigawati, S.Pd. (Guru SMP PGRI 3 Denpasar)
Hari pendidikan Nasional ditetapkan pada tanggal 2 Mei, bertepatan juga dengan hari lahirnya sang pelopor dunia pendidkan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan suatu Negara. Dari pendidikan yang kompeten dan profesional akan lahir generasi muda yang mumpuni dalam berfikir dan menganalisa masalah dengan kecerdasan, berbudi pekerti serta kompetensi dalam bidangnya.
Walau telah melawati berbagai perubahan kurikulum maupun pergantian mentri, hal tersebut ternyata tidak diiringi dengan perbaikan mutu pendidikan di Indonesia. Mutu pendidikan di Indonesia saat ini masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya budaya membaca di Indonesia. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tentu tidak tinggal diam melihat kondisi pendidikan Indonesia. Pada tanggal 15 Agustus 2015 Kemdikbud sampai menggelorakan program gerakan literasi. Tujuan diadakan gerakan literasi yaitu untuk menumbuh kembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi agar menjadi pembelajar sepanjang hayat. Gerakan literasi ini terus di kembangkan demi kemajuan pendidikan Indonesia. Namun, fenomena teacher centered learning atau guru sebagai pusat pembelajaran dalam dunia pendidikan Indonesia sudah menjadi kebiasaan yang sulit di rubah. Dimana siswa hanya menampung semua semua informasi dari guru tanpa bertindak aktif menemukan informasi dari sumber lain. Kebiasaan siswa yang hanya duduk, diam dan mendengar ternyata tidak sejalan dengan karakter siswa yang diidamkan pada program gerakan literasi yang telah digelorakan oleh Kemdikbud. Alhasil berdasarkan laporan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Selasa 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia berada di peringkat 72 dari 78 negara.
Melihat kondisi pendidikan di Indonesia, Kemdikbud di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim mengeluarkan program baru yaitu merdeka belajar. Di tengah usaha Kemdikbud untuk memajukan pendidkan di Indonesia ternyata Dunia di goncangkan dengan serangan virus Corona. Indonesia ternyata tidak luput dari serangan virus Corona. Virus corona mampu meluluh lantahkan segala aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dunia pendidikan. Siswa dan guru yang biasa melakukan kegiatan program belajar mengajar lewat tatap muka harus melakukan program belajar dalam jaringan (daring), hal ini dimaksud kan untuk membatasi pergerakan virus corona. Pembelajaran daring yang tidak terbiasa dilakukan di Indonesia membawa perubahan besar dalam dunia pendidkan. Banyak kendala yang terjadi dalam melaksankan program belajar daring baik secara teknis maupun jaringan. Tidak semua siswa memiliki alat komunikasi yang mendukung program belajar dalam jaringan, serta daerah terpencil yang kesulitan untuk mendapatkan sinyal telekomunikasi demi kelancaran belajar dalam jaringan merupakan beberapa kendala pelaksanaan program belajar dalam jaringan. Kendala tidak hanya dirasakan oleh siswa, para gurupun ternyata belum siap melaksanakan program daring. Pembatasan aktifitas sekolah mengakibatkan Guru tidak memperoleh buku penunjang yang difasilitasi pemerintah.
Serangan virus corona ini ternyata seperti dua sisi mata pisau, atau yang biasa dikenal dengan istilah Rwa Bhineda dalam filosofi kehidupan Bali. Tidak hanya dampak negatif yang di hasilkan terutama dalam dunia pendidikan ternyata juga memiliki dampak positif dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan program Merdeka belajar, Sistem pembelajaran tatap muka yang biasanya menempatkan guru sebagai pusat dari proses belajar mengajar atau teacher center, berubah total menjadi student center semenjak pandemi ini terjadi. Siswa yang awalnya hanya sebagai pendengar saat proses pembelajaran tatap muka berlangsung ketika guru memberikan penjelasan terhadap suatu materi, harus banyak membaca agar mereka paham materi yang tengah berlangsung ketika program belajar daring ini berlangsung. Situasi ini dapat dimanfaatkan Guru milenial untuk mulai menerapkan program Merdeka Belajar. Dengan adanya keharusan siswa lebih rajin membaca materi, tentunya hal ini akan berdampak pada peningkatan budaya membaca siswa. Namun perlu kita sadari, siswa memiliki minat yang sangat minim dalam membaca. Banyak faktor penyebab kurangnya minat membaca siswa. Buku pembelajaran yang kurang menarik, materi yang di buat terlalu padat, keadaan buku usang, serta materi pembelajaran yang tidak kontekstual merupakan beberapa faktor yang menyebabkan siswa malas untuk membaca buku.
Sebagai guru ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan budaya membaca siswa. Salah satunya melalui materi yang dibuat langsung oleh guru. Dengan memanfaatkan program merdeka belajar, guru memiliki kebebasan dalam berkreasi membuat dan mengemas materi pembelajaran. Dalam membuat materi pembelajaran, guru dapat membuat materi yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari seorang siswa atau yang lebih kita kenal dengan kata kontekstual. Misalnya dengan mengambil contoh kondisi rumah dan lingkungan mereka kedalam materi pembelajaran. Dengan kemasan tersebut dapat membuat siswa lebih mudah membayangkan materi yang diajarkan dan lebih mudah memahami materi yang dipelajari. Menyelipkan gambar yang ada hubungan dengan materi pembelajaran tersebut juga diharapkan dapat menarik minat membaca siswa. Faktanya, manusia lebih mudah membayangkan sebuah konsep melalui visual dari pada tulisan semata. Guru juga dapat mengemas materi dengan model bercerita. Sehingga psikologi siswa merasa sedang membaca cerita bukan membaca materi yang berat. Nyatanya dilapangan ditemuka fenomena siswa yang banyak tertarik membaca cerita online seperti webtoon, watpad, daripada membaca buku pelajaran mereka. Diharapkan, dengan merdekanya guru melakukan pembelajaran terutama membuat materi pelajaran, siswa memiliki minat baca dan materi yang ingin disampaikan dapat diterima siswa dengan baik.