DPC PDIP Buleleng sejak dini melabuhkan pilihan kembali mengusung Wayan Koster sebagai Ketua DPD PDIP Bali untuk periode ketiga. Usulan itu disepakati dalam rapat internal melibatkan pengurus DPC, PAC, Ranting, hingga Anak Ranting. Ketua DPC PDIP Buleleng, Gede Supriatna, beralasan, Koster terbukti sukses membawa kemajuan bagi partai, baik secara internal maupun dalam kontestasi politik. “Selama Koster memimpin, raihan kursi kami naik, baik di DPRD kabupaten/kota maupun Provinsi,” ucapnya, Minggu (12/10/2025). Apakah itu klaim elitis atau representasi aspirasi kader, masih perlu diverifikasi.
Bila wacana ini disambut positif mayoritas DPC di Bali, dan disepakati pada Konferensi Daerah (Konferda), Sabtu (18/10/2025), maka Koster akan mencatat sejarah baru di politik lokal Bali. Pertama, Gubernur dua periode dengan perolehan suara meyakinkan (57,68% pada Pilgub 2018, dan 61,46% pada Pilgub 2024); kedua, tiga periode pemimpin partai terbesar di Bali; ketiga, politisi yang berhasil menggunakan simbol-simbol desa adat untuk insentif elektoral.
Menimbang senyapnya kandidasi di internal untuk menjadi pesaing, dan jika mutlak bergantung aspirasi internal, perjalanan Koster diprediksi akan mulus-mulus saja. Namun, laiknya kehidupan di partai lain, pemegang keputusan tetaplah pusat. Dibingkai dalam narasi apapun, selalu akan ada beda perspektif dan kepentingan antara elite di daerah, yang lebih mengenal wilayah, dengan elite di Jakarta sebagai pemegang kontrol mutlak. Justifikasinya, meminjam pandangan hegemoni Antonio Gramsci, yang “dipercaya dan diterima” internal bahwa yang lebih paham dinamika politik nasional adalah pusat, bukan daerah. Hegemoni tercipta karena kekuasaan simbolik elite, bukan koersif.
Mengutip pendapat Michel Foucault, pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain, kekuasaan untuk mendefinisikan yang lain. Ketika pengetahuan elite di Jakarta digunakan mendefinisikan “kesetiaan atau kepatuhan” misalnya, maka mau tidak mau elite daerah menginternalisasi diri dengan wacana itu. Sejarah partai politik di Indonesia memperlihatkan bagaimana nyaris semua keputusan bersifat top down. Bahkan PDIP yang mengklaim partai wong cilik juga mempraktikkan hierarki komando.
Bercermin dari realitas sampai kini, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang dapat dimaknai. Pertama, jika kelak ditabalkan sebagai Ketua DPD PDIP Bali, Koster kader kedua PDIP di Indonesia setelah Rachmat Hidayat di NTB yang memimpin tiga periode. Rachmat Hidayat jadi kader sejak PDIP masih bernama PDI di era Orde Baru, Koster terbilang kader generasi pascareformasi. Pesan ke internal lugas: Koster punya nilai istimewa di mata Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum. Bisa karena prestasi di partai, kebijakan di ranah adat, maupun kecekatan menerjemahkan keinginan Megawati dalam kebijakan politik dan perlindungan alam Bali.
Kelebihan Koster jika kembali menakhodai partai adalah, (1) posisi sebagai Gubernur menjaga tingkat moral kader usai Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, (2) realisasi janji politik PDIP relatif bisa dikendalikan dengan karakter tangan besinya, sekaligus cara menjaga brand partai di mata masyarakat, (3) mendinginkan dinamika internal sebelum dan sesudah Pilgub Bali. Di sisi lain juga ada kekurangannya, yakni (1) regenerasi kader potensial seperti Giri Prasta dan Mahayastra menjadi stagnan, (2) Fraksi PDIP sebagai mayoritas di DPRD Bali kurang garang mengontrol kinerja Koster di Pemprov Bali karena di partai menjadi subordinat, (3) transformasi dan adaptasi partai, termasuk mitigasi polarisasi internal, relatif konvensional karena dipengaruhi pola pikir lama.
Kedua, sepinya kandidasi dan usulan dari DPC lain juga menggambarkan faksi-faksi sepertinya menemukan titik kompromi di panggung belakang. Sepengamatan penulis, di internal PDIP terdapat minimal tiga faksi. Pertama, faksi radikal dengan Koster sebagai patron, dengan kekuatan di struktur partai, eksekutif dan legislatif Provinsi Bali. Ciri utama faksi ini adalah cenderung rasional, meritokrasi relatif terukur, dan disiplin hierarkis tegas. Kedua, faksi konservatif atau tradisional dengan Puri Satria sebagai patron –dan figur IGN Jaya Negara sebagai representasi simbolik– di struktur partai, eksekutif dan legislatif dengan terutama di Kota Denpasar. Ciri khas faksi ini adalah menjaga loyalitas dengan langgam budaya tradisional, lentur, cenderung menghindari konflik terbuka, dan “terlihat” kurang berambisi. Ketiga, faksi moderat dengan Made Mahayastra sejauh ini sebagai primus inter pares. Penanda utama faksi ini adalah lintas kekerabatan, diyakini mampu meredam turbulensi internal karena kedekatan pribadi Mahayastra dengan Prananda Prabowo, dan dapat menjadi penyeimbang karena hubungan baik dengan kubu Koster dan Puri Satria yang terlihat ada pembatas tak kasatmata.
Ketiga, ketika skenario Koster tiga periode berjalan, maka beban kader yang punya potensi dan ambisi menjadi calon pada Pilgub Bali selanjutnya, sebagian menjadi tanggung jawab Koster. Hal itu dapat didukung disiplin partai yang kuat, tiadanya modal tandingan baik ekonomi, simbolik, dan sosial dari calon rival sementara ini. Jadi, antara Koster dan elite serta kader terbentuk kewajiban yang implisit: Koster disepakati bertahan, tapi dia harus menerima pembatasan fisik dan moral dalam bentuk memberi garansi PDIP tetap berkuasa di Bali.
Bagaimana dengan Giri Prasta? Sebagai anak kesayangan Megawati, yang saat menjabat Bupati Badung sempat diposisikan sebagai kompetitor Koster, kini dengan posisi sebagai Wakil Gubernur Bali, pilihan rasional bagi Giri adalah menunggu momentum baik (lagi). Apakah basis kekuatan Giri sebelumnya tetap setia bersama Giri, itu soal lain. Giri sepertinya juga tetap bertahan mengendalikan DPC PDIP Badung untuk mengamankan agenda politiknya ke depan, baik untuk partai maupun dinastinya. Cuma ya itu, keputusan akhir tetap di tangan Mega. Bila pada zaman dahulu ada ungkapan Roma locuta causa finita (Roma telah berbicara, perkara telah selesai) untuk menunjukkan keputusan Gereja Katolik di Roma sebagai otoritas yang tidak dapat dipertanyakan, maka di PDIP berlaku Mega locuta causa finita. Gus Hendra
























