8.726 kilometer adalah jarak dari Kota Jakarta ke Jalur Gaza di Timur Tengah, tempat bagi 2,3 juta warga Palestina. Gaza berbatasan dengan Laut Mediterania, Israel, dan Mesir. Karena panjang hanya 10 kilometer dan lebar 41 kilometer, dengan penduduk sebanyak itu, menjadikannya salah satu wilayah paling padat penduduk di dunia dengan 9.000 orang per kilometer.
Meski terbentang jarak ribuan kilometer, apa yang terjadi di Jalur Gaza, terutama menimpa penduduk Palestina, selalu menjadi hal menarik di Indonesia, yang penduduknya mayoritas muslim. Bahkan isu perang antara Israel dan faksi Hamas di Palestina bisa turut menyusup dan berkubang dalam isu Pilpres 2024 di Indonesia. Prinsip “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” menjadi pijakannya.
Ada politisi yang memulai duluan menggunakan isu tragedi kemanusiaan di Palestina ini, ada yang belakangan. Dalam lanskap lokal, dan kemudian menjadi wacana di lingkup nasional, adalah Gubernur Bali, Wayan Koster, yang terdepan menyatakan sikap atas persoalan kemanusiaan di Palestina. Melalui surat yang dikirim ke Menpora pada 14 Maret 2023, ada empat pertimbangan Koster menyatakan menolak kedatangan Timnas Israel, sebagai peserta Piala Dunia U-20, ikut bertanding di Bali yang menjadi salah satu dari enam provinsi yang dipilih menjadi tuan rumah di Indonesia.
Selain pertimbangan kemanusiaan terkait kebijakan politik Israel atas warga Palestina, Koster menilai tidak ada hubungan diplomatik antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Israel. Kemudian kehadiran Timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 berpotensi mengganggu stabilitas keamanan nasional, dan berpotensi menimbulkan masalah keamanan di Bali, dan akan mengganggu percepatan pemulihan pariwisata setelah dihajar pandemi Covid-19.
Sikap Koster kemudian diimitasi Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Ganjar dan Koster berstatus sama-sama kader PDIP dan sama-sama berjuang untuk kelanjutan karir politik mereka. Pembedanya, Ganjar berjuang di Pilpres 2024 sebagai calon Presiden yang diusung PDIP usai pensiun dari Gubernur Jawa Tengah. Sementara Koster juga berjuang untuk mendapat kesempatan sebagai calon Gubernur Bali untuk periode kedua pada Pilkada 2024, usai purnatugas sebagai Gubernur periode 2018-2023.
Hanya, alih-alih banyak didukung, Ganjar dan Koster justru dirisak di media dan media sosial atas pilihan sikapnya, yang jelas-jelas tidak sehaluan dengan arah kebijakan Presiden Jokowi. Pemantiknya adalah sikap Koster dan Ganjar dinilai kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi, terutama melalui potensi pendapatan dan citra positif pariwisata dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia, yang dilakukan Presiden Jokowi. Plus tidak menghargai perjuangan PSSI untuk memilih Indonesia sebagai tuan rumah.
Uniknya, kini dalam isu yang sama, Anies Baswedan sebagai salah satu capres, seakan tampil terdepan dalam membela Palestina setelah terjadi perang sebulan terakhir antara Faksi Hamas dan pasukan Israel. Hamas melakukan serangan kilat dengan ribuan roket dari Jalur Gaza yang menghabisi sekitar 2.000 warga Israel, dan kemudian dibalas dengan Israel mengepung Jalur Gaza. Aksi Anies yang demonstratif dan heroik menggunakan isu konflik Palestina vs Israel, terlihat mendapat limpahan dukungan dan simpati publik. Pada saat yang sama, keberanian Koster dan Ganjar justru terlupakan.
Dari rekam jejak, sikap politisi kita dapat dimaknai sekurang-kurangnya dalam tiga hal. Pertama, isu konflik Israel vs Palestina sejauh ini terlihat “abadi” di Indonesia. Hal itu tidak terlepas dari sikap warga Indonesia sendiri yang melihat persoalan yang sangat kompleks dan memiliki sejarah panjang ini, dengan simplifikasi sebatas konflik agama Islam dan Yahudi semata. Karena digiring ke arah konflik agama, wacana yang di luar itu cenderung kurang direspons. Bahkan niat mengedukasi agar tidak mudah terprovokasi dengan aksi sepihak, rentan tergelincir kepada tudingan tidak bersimpati kepada penderitaan warga Palestina.
Yang unik, meski sama-sama merujuk penderitaan warga Palestina sebagai alas, tapi ketika digaungkan politisi dari kalangan nasionalis seperti Koster atau Ganjar, sikap mereka cenderung kurang mendapat simpati atau dukungan. Situasi ini menunjukkan adanya pilih tebang masyarakat Indonesia dalam memaknai sikap elitenya dalam merespons konflik Palestina vs Israel. Singkat tutur, jika kalangan nasionalis yang bicara maka akan dicurigai “tidak tulus”, mendompleng penderitaan umat Islam, dan penuh motif politis”. Sementara ketika kalangan elite Islam politik yang bicara hal sama, maka niscaya otomatis dianggap “tulus, heroik, dan layak didukung”.
Kedua, terlepas dari segala kontroversinya, ketika elite lain hanya partisan dan baru bersikap ketika isu Palestina akan mendatangkan insentif elektoral, Koster dan Ganjar bisa dibaca memiliki kecerdasan visi dalam membaca eskalasi konflik di Palestina. Pun bagaimana memitigasi konflik tersebut agar tidak terlalu berdampak terhadap situasi keamanan dalam negeri, dan tidak mengusik perjuangan untuk menjaga stabilitas ekonomi yang baru pulih. Apa motif sebenarnya di balik sikap Koster dan Ganjar, apakah murni kemanusiaan atau terselip unsur untuk memetik keuntungan politik, satu hal yang pasti terlihat adalah keduanya sosok yang berani mengambil risiko untuk tidak populer.
Di tengah disrupsi digital saat ini, ketika orang mudah berpendapat dan, terutama, memaki siapa saja, Koster dan Ganjar seakan menyediakan diri sebagai papan bidik bagi siapa saja yang hendak merundung PDIP. Disadari atau tidak, keberanian dan konsistensi keduanya membela Palestina dengan menolak kedatangan Timnas Israel, menjadikan keduanya sasaran empuk bagi penggemar bola yang kecewa, dan pihak yang tidak suka –untuk tidak memakai diksi membenci– PDIP. Di titik ini, suka tidak suka elite PDIP seyogianya berterima kasih atas pengorbanan Koster dan Ganjar.
Ketiga, sikap Koster dan Ganjar sesungguhnya hanya mengimitasi sikap Presiden Soekarno pada tahun 1962, yang menyatakan “selama kemerdekaan Palestina belum diserahkan, maka selama itu pula Indonesia tidak mengakui Israel”. Sikap Soekarno tersebut masih dipertahankan Pemerintah Indonesia dengan tidak ada hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Hanya, kembali anomali terjadi. Pernyataan Soekarno didukung secara masif dan dijadikan referensi sikap elite politik yang lain, tapi kurang bergema ketika Koster dan Ganjar yang melakoni.
Di Hari Pahlawan 10 November 2023 ini, spirit berani membela apa yang dianggap benar oleh para pahlawan kita, terutama pada Palagan Surabaya, patut kita renungkan, teladani, dan eksekusi. Pada era revolusi mempertahankan kemerdekaan, kepahlawanan terlihat dari keberanian tetap menyala-nyala meski berhadapan dengan peluru dan meriam lawan. Kini, di era digital, kepahlawanan dapat diukur, antara lain, dari keberanian menghadapi cercaan opini publik dari netizen yang julid, sebagaimana dicontohkan Koster dan Ganjar dalam membela penderitaan warga Palestina. Pilihan politik silakan berbeda, tapi kemanusiaan tetap yang utama.
Ada kisah yang dinukil dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”. Suatu ketika logistik pasukan Belanda yang dikirim lewat udara di Yogyakarta, ternyata jatuh di wilayah yang dikuasai kaum Republiken. Tahu bahwa prajuritnya mendapat logistik lawan, Bung Karno memerintah untuk mengembalikan ke tentara Belanda yang berposisi di seberangnya. Meski merutuk, prajurit itu tetap menjalankan perintah Panglima Tertinggi Angkatan Perangnya itu. Lalu apa pertimbangan Bung Karno? “Politik ya politik, tapi kemanusiaan tetaplah kemanusiaan”. Gus Hendra