Jangan Dong Kembali ke Zaman Orde Baru

Made Nariana. foto: dok

Oleh Made Nariana

ZAMAN Orde baru (Orba), 25 tahun telah berlalu. Demo besar-besaran tahun 1998 dari berbagai elemen bangsa saat itu, menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Zaman totaliter, zaman tidak enak, (persis seperti zaman kerajaan) — sekalipun pembangunan ekonomi dirasakan baik. Namun rakyat tidak bebas mengutarakan pendapat saat kekuasaan Soeharto. Beda pendapat Anda bisa hilang tanpa bekas…..

Bacaan Lainnya

Moment krisis muncul tahun itu, sehingga demo meluas sampai keuasaan Orba jatuh. Demo mahasiswa didukung berbagai elemen masyarakat, terutama ABRI saat itu terdiri dari TNI dan Polri menyebabkan Soeharto jatuh dan lahirlah apa yang dikenal sebagai zaman reformasi.

Ada enam tuntutan reformasi: Pertama; Penegakkan Reformasi Hukum, kedua; Pemberatasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), ketiga; Pengadilan mantan Presiden Soeharo dan kroninya, keempat; Amandemen Konstitusi, kelima; Pencabutan Dwifungsi ABRI, dan keenam; Pemberian Otonomi Derah seluas-luasnya.

Penekanan utama dari cita-cita reformasi adalah Penegakkan Hukum dan Memberantas Korupsi. Dwifungsi ABRI juga juga sudah dihapus, dan segera dilakukan pemberian otonomi daerah bagi seluruh provinsi di tanah air.

Baca juga :  Bali Virtual Career Fair 2021 Sediakan Ratusan Lowongan Kerja

Kaum milenial dan generasi Z yang tidak paham dengan kebiadaban penguasa Orba mesti mempelajari sejarah. Jangan terjebak dengan kata-kata “Lebih enak zamanku toh?”… (kalimat sindiran) yang seolah-olah dipertanyakan Pak Harto kepada generasi sekarang. Saya merasakan pasti tidak lebih enak. Di balik ketidakbaikan zaman ini, masih lebih enak dibandingkan zaman Orba.

Harus diakui, zaman ini korupsi belum mereda. KKN juga makin merebak. Apalagi setelah 25 tahun, Jokowi sang Presiden kita saat ini – mulai berjiwa feodal. Kembali seperti zaman Kerajaan… seperti berniat menjadikan keturunannya supaya berkuasa. Atau meneruskan kekuasaannya selama 20 tahun dari Walikota sampai menjadi Gubernur dan Presiden dua periode.

Jokowi yang selama ini sukses membangun negeri dengan infrastruktur yang diakui rakyat, tiba-tiba menjadi olok-olokan sejumlah tokoh dan elemen masyarakat di media maya dan media nyata. Ini yang sangat memprihatinkan.

Banyak pengamat hukum dan politik, mengatakan, bahwa ada permainan hukum di Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga meloloskan anak presiden sebagai calon pemimpin (cawapres). Bahkan berpasangan dengan Capres yang track recordnya di zaman Orba sudah lumrah diketahui banyak orang.

Sebaliknya sisa-sisa pejabat Orba masih pengen kambali berkuasa, yang justru sebelumnya dilawan rejim Jokowi. Jokowi lahir dalam situasi rakyat menjalankan amanat reformasi. Sangat aneh, setelah 25 tahun, kini malah memberikan suasana terbalik kepada oknum-oknum yang pernah melakukan “kejahatan” di zaman orde baru.

Baca juga :  Rai Mantra dan Jaya Negara Ucapkan Selamat Hari Natal dan Tahun Baru

Saya mengalami bagaimana kejahatan zaman orba. Penculikan, banyak orang hilang, ketakutan media massa menyampaikan kebenaran dan seterusnya. Kalau berani berbeda, media dibreidel. Kalau berani melawan nyawa taruhannya.

Sejarah mencatat, sebanyak 23 orang dinyatakan hilang dalam periode 1997-1998. Sebagian dari mereka adalah aktivis pro-demokrasi. Dari jumlah itu tercatat 9 orang berhasil kembali. Malahan kini mereka menjadi tokoh politik dengan pihak yang berbau Orba. Satu dinyatakan tewas, dan 13 orang sampai sekarang tidak diketahui nasibnya. Sebelumnya semua mereka diculik!

Kini demokrasi kita mulai buram. Praktik Orba mulai diterapkan dengan pemaksaan melalui intervensi hukum. Semua persoalan sudah sangat jelas dan transparan melalui media social.

Saya tidak perlu membeberkan siapa yang berbuat seperti ini. Saya hanya pengen supaya kaum milineal dan gen.Z — memahami, bahwa kini rejim yang ada, kembali menerapkan teori kekuasaan seperti zaman Orba yang ditentang habis-habisan tahun 1998, sehingga lahir orde reformasi.

Saya setuju kaum muda tampil sebagai pemimpin. Tetapi seharusnya melalui proses panjang, bukan dengan mengutak-atik hukum. Apalagi dengan main kekuasaan sehingga tidak selaras dengan tuntutan reformasi.

Kita ini republik, bukan Kerajaan! Kita ini menerapkan sistem demokrasi, bukan sistem kekuasaan, apalagi totaliter! (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.