[Fenomena Ekonomi] Tuak, Arak dan Berem

PEMRED Harian POS BALI, Made Nariana. foto: ist

Oleh Made Nariana

KEPUTUSAN Gubernur Wayan Koster melegalkan arak Bali menjadi perbincangan luas di masyarakat belakangan ini. Hal itu dianggap keputusan strategis, membantu petani arak, plus mengangkat derajat minuman arak, termasuk tuak dan berem, yang merupakan prokduksi lokal (Bali) setara dengan minuman di dunia global.

Bacaan Lainnya

Tuak, arak dan berem (TAB) – selama ini dikonotasikan hanya untuk upacara adat keagamaan. Kalau toh ada diminum rakyat, hanya sekadar selingan ringan dengan resiko ditangkap. Tuak sering berjejer di warung-warung kecil, diselingi dengan lawar atau sate babat. Disajikan sambil ngobrol sore hari seusai petani ke sawah atau “meburuh”.

Arak dijual sembunyi-sembunyi. Kalau terang-terangan, dapat ditangkap polisi. Berem, di kalangan masyarakat awam jarang menjadi minuman sehari-hari. Berem hasil proses teknologi, hanya djual untuk turis. Dalam upacara keagamaan, ketiga minuman ini disebut tetabuhan (tabuhan), sebagai pemungkas prosesi sebuah upacara keagamaan.

Itulah kesan masyarakat selama ini, menyangkut tiga minuman tersebut, tuak-arak dan berem. Ketiganya hasil produksi rakyat. Kebanyakan ada di Karangasem, Bangli dan Buleleng. Soal Tuak, di Badung, sudah lazim dipajang di warung-warung kecil di pinggir jalan. Di sepanjang Jalan Kusamba-Karangasem, Tuak berjejer terpajang dipinggir jalan, dijual kepada peminatnya.

Baca juga :  Berharap Pencuri Kembalikan Uang, Tri Roesmini Janjikan Hadiah

Sejak tanggal 5 Februari 2020, melalui Pergub Bali Nomor 1 tahun 2020, ketiga minuman ini menjadi trending topik di masyarakat melalui media massa. Pasalnya Gubernur Bali Wayan Koster mensosialisasikan Pergub Nomor 1 itu di kalangan masyarakat, menyangkut Tuak-Arak dan Berem (TAB) itu.

Jenis minuman lokal produksi rakyat itu naik kelas, menjadi minuman internasional. Bersaing dengan jenis-jenis minuman impor sekelas wine dan minuman produksi pabrik modern di luar negeri. Sedangkan minuman sejenis bir sudah menjadi konsumsi rakyat banyak.

Namun Tuak-Arak dan Berem, selama ini masih berada di balik panggung gemerlapan pariwisata Bali. Pengedar dan pemakainya diincar aparat keamanan, sementara di lain pihak orang bebas mengedarkan minuman keras dari luar negeri.

Selama ini pemerintah menganggap TAB sebagai investasi negatif, sehingga Gubernur Koster memprotesnya, sebab merupakan produksi rakyat lokal di Bali, yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

“Sungguh tidak adil. Produksi rakyat Bali, yang merupakan kearifan lokal tidak boleh dinikmati secara ekonomi oleh produsen dan masyarakat. Ini benar-benar tidak adil,” kata Gubernur Bali Koster berulang kali ketika me – launching Pergub Nomor 1 tahun 2020, di hadapan banyak undangan di halaman Jaya Sabha Minggu lalu. Ia berjuang ke Jakarta, dan berhasil disetujui sehingga dibentuk Peraturan Gubernur (Pergub).

Pergub Nomor 1 itu berjudul : ”Peraturan Gubernur Tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/Atau Destilasi Khas Bali”. Iintinya memberikan pelindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan; kemitraan usaha, promosi dan branding.

Selain itu, pembinaan dan pengawasan, peran serta masyarakat, sanksi administrasi dan pendanaan. Hal ini meliputi nasib Tuak Bali, Brem Bali, Arak Bali dan produksi artisanal, dan arak/berem untuk upacara keagamaan.

Baca juga :  Turun Dua Kursi, Golkar Tetap Jawara Pileg 2024 di Mataram, PKS Posisi Kedua Jumlah Kursi

Dengan adanya Pergub ini, bukan berarti TAB bebas bergerak seenaknya di masyartakat. Pembinaan dan pengawasan harus memperhatikan sejumlah aturan. Seperti surat izin usaha minuman berakoohol, izin usaha perdagangan, Nomor Induk Berusaha, Izin Edar, Pita Cukai, Label, Harga dan Kemasan. Semua aturan bisnis harus dipenuhi sebagaimana mestinya.

Intinya, pesan Gubernur Bali saat memperkenalkan penataan TAB, minuman produksi rakyat itu harus dikelola masyarakat lokal, dijadikan minuman “wellcome” (selamat datang) di hotel-hotel atau acara tertentu, sebagai souvenir pelancong yang datang ke Bali, sehingga posisinya sama dengan minuman lain yang selama ini diimpor dari luar.

“Pendek cerita, turis yang datang ke Bali belum lengkap, jika tidak menikmati TAB (tuak-arak atau berem) Bali dan membawanya kembali ke negaranya sebagai oleh-oleh”, seloroh Koster.

Ia ingin sekali-sekali petani Tuak, Arak, Berem di Karangasem misalnya menjadi bos bisnis, tidak terus terusan menjadi petani, dan bisa suatu saat nraktir Gubernur, ha..ha..ha(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.