Diksi “Petugas Partai” Tidak Pengaruh Signifikan, Figur Cawapres Ganjar Bisa Hadirkan Kejutan Baru

PENGAMAT politik Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, DR. Nyoman Subanda. Foto: ist
PENGAMAT politik Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, DR. Nyoman Subanda. Foto: ist

POSMERDEKA.COM, DENPASAR – PDIP menghadirkan kejutan kecil dengan mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) pada Hari Kartini, 21 April 2023. Akankah PDIP atau Ganjar menghadirkan kejutan baru dengan pemilihan bakal calon wakil presidennya?

“Sangat mungkin ada kejutan, karena sebelumnya PDIP juga melakukan strategi sama,” cetus pengamat politik Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, DR. Nyoman Subanda, Selasa (25/4/2023).

Bacaan Lainnya

Saling lirik dan genit sesama elite politik hari ini, kata Subanda, memang sangat cair. Setelah Ganjar dicapreskan, topik negosiasi untuk Pilpres 2024 mulai mengerucut kepada siapa akan dijadikan cawapres. Kondisi mencari pasangan ideal juga terjadi pada bakal calon presiden Airlangga Hartarto, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Muhaimin Iskandar.

“Kalau soal cawapres masih cair sekali. Partai itu punya tradisi mencari simpati partai lain dulu untuk power sharing. Bentuknya seperti apa, itu yang bermacam-macam,” papar dosen FISIP Undiknas ini.

Dia mencontohkan Prabowo atau Muhaimin, masih memungkinkan dielus-elus sebagai cawapres Ganjar. Hanya, unsur kejutannya adalah belum tentu sosok yang didekati yang dipilih. Partai niscaya mengkalkulasi insentif elektoral dengan melihat latar belakang sosok yang diincar. Bagaimana Ma’ruf Amin dipilih sebagai cawapres Jokowi pada Pilpres 2019, padahal Mahfud MD nyata-nyata diberi sinyal jadi cawapres, adalah bukti matematika politik bekerja.

Baca juga :  Mobilitas Masyarakat masih Tinggi, Satgas Denpasar Tertibkan Sektor Nonesensial

“Bergantung kelompok mana ingin dirangkul, dicari figur atau simbolnya. Tapi sosok yang diusulkan tidak otomatis cawapres, bisa saja hanya untuk koalisi. Kembali ke soal komitmen, elektabilitas dan juga logistik,” ungkap Subanda.

Mengingat Ganjar politisi sipil, Subanda melihat ada peluang besar golongan tentara masuk gelanggang. Meski tentara tidak berpolitik, tapi pengaruh dan akseptabilitasnya masih besar di Republik ini. “Ada tiga kelompok besar yang menentukan nanti, yakni kelompok Islam, milenial dan tentara, atau yang afiliasi dengan tentara. Mereka potensial dilirik sebagai cawapres, minimal menjadi tim pemenangan,” urainya.

Membincang milenial, Subanda menyayangkan selama ini hampir tidak disentuh, baik oleh caleg atau capres. Politisi cenderung mengelus milenial yang berkecimpung di politik, tapi yang didapat sering broker atau tidak punya massa riil. Bisa juga punya massa, tapi hanya segitu-segitu saja.

Selain secara personal, pengelolaan konten media sosial politisi atau partai juga minim menarik atau mendekati selera milenial. Di sisi lain, pemilih milenial merupakan ceruk suara besar untuk diperebutkan, mencapai 30 persen dari total pemilih. Singkatnya, sangat sayang tidak disentuh optimal. 

Dari segi perilaku dan kebiasaan, Ganjar dipandang paling mendekati selera milenial. Ridwan Kamil juga baik, tapi kalau Anies tidak sesuai kaum milenial, hanya pencitraan saja. “Menangnya Anies itu di retorika, walau keadaan terjepit bisa berkelit dengan menata kata. Tapi ada yang suka dengan model begitu, fisiknya juga bagus. Jadi, seolah-olah (yang dikatakan) itu benar,” papar Subanda tertawa.

Baca juga :  Wujudkan Satu Fraksi, Gerindra Gianyar Lakukan Ini dari Rumah ke Rumah

Khusus Prabowo, dilihat khas dengan identitas dan simbol tentara. Perilaku dan gestur juga tegas dan cenderung formal. Sayang, belum tentu juga tentara mendukung penuh, karena ada handicap pernah dipecat dari ABRI tahun 1998.

Bagaimana dengan sinisme “petugas partai” yang dialamatkan ke Ganjar? Bagi Subanda, meski diksi “petugas partai” memang merendahkan, tapi tidak signifikan menggerus akseptabilitas dan elektabilitas Ganjar. Justru istilah itu lebih berdampak ke Megawati Soekarnoputri, yang dinilai tidak dewasa dan tidak menghargai calon presiden.

“Tidak berefek signifikan kepada calon. Sah-sah saja melabeli Ganjar atau Jokowi sebagai petugas partai, tapi publik atau selain PDIP melihat itu tanda Mega tidak dewasa (dalam pernyataan politik). Soal itu akan dipakai amunisi oleh lawan mendegradasi Ganjar, saya rasa tidak berefek besar juga karena publik paham kapabilitas Ganjar,” serunya menandaskan. hen

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.