SEPEKAN berlalu, belum juga ada tanda-tanda mereda selisih jalan antara kubu Sugawa Korry dan Gde Sumarjaya Linggih (Demer) dalam pencalegan Golkar di Bali. Kalaulah ada satu kesamaan, keduanya sama-sama mengaku menegakkan kebenaran, dan menggalang solidaritas dengan membela yang tertindas. Argumen dengan derajat logis setara, dan akrobat pembenaran disodorkan atas nama konstitusi partai. Soal siapa yang benar, publik hanya akan tahu setelah usulan pencalegan ditetapkan menjadi Daftar Calon Tetap (DCT) pada 10 November mendatang.
Melihat sengitnya pertempuran di balik layar, kondisi ini sekurang-kurangnya dapat dimaknai tiga hal. Pertama, residu konflik setelah Musda Golkar Bali 2020 masih membekas, jika tidak malah membesar. Embrio tikai jalan bersemi hanya sekitar tiga bulan setelah Sugawa mengendalikan DPD Golkar Bali. Sejumlah intrik terjadi. Seiring beda sudut pandang dalam menggerakkan organisasi, secara natural keduanya membentuk benteng dan loyalis sendiri.
Dengan premis memperjuangkan aspirasi kader dan memenangkan partai, Demer tidak ragu bersikap pragmatis. Di mata Demer, andai belum mampu mendapat tambahan kursi, maka pertahankan dahulu kursi yang ada. Ketika ada peluang mendapat kursi lebih, jangan buang peraih kursi sebelumnya. Singkatnya, Demer lebih mementingkan hasil akhir meski terkesan menafikan pertimbangan DPD I.
Sebaliknya, dengan matematika politiknya, Sugawa memproses pencalegan dengan hati-hati dan legalis. Rekomposisi caleg yang diusulkan ke DPRD kabupaten/kota dan DPRD Provinsi, semua ada kalkulasinya. Apakah kader sepakat atau tidak, itu lain hal. Kedua kubu mengaku ingin membesarkan partai, tapi dengan pola yang nyaris tidak akan mungkin berpadu.
Kedua, secara lumrah, keduanya memang beda gaya kepemimpinan. Demer cenderung menggiring loyalitas kader lebih ke personal. Kelebihannya, Demer sigap pasang badan dengan segala risiko demi membela kepentingan loyalisnya. Bahkan jika itu berarti dia mesti berhadapan dengan opini minor kader lain di luar sekutunya. Right or wrong is my man, kira-kira begitu pesan yang dikirimkan.
Di seberang, sebagai organisator sejak muda, gaya kepemimpinan Sugawa lebih mengajak setia secara struktural, meski secara otomatis ke personal juga. Menghadapi guncangan, Sugawa lebih mengedepankan kehati-hatian dan prosedural. Minusnya, ragam ini terkesan lambat dan kurang heroik.
Konsekuensi terulangnya kegaduhan internal adalah peruncingan dua kutub, meski kecil potensi kedua seteru merekrut atau mendapat pendukung baru. Sebab, kegentingan hanya bersifat situasional. Setelah pencalegan final, situasi akan mereda sendiri karena semua disibukkan menggarap konstituen masing-masing. Bagi yang merasa kalah, paling-paling rehat sejenak sembari menyiapkan amunisi untuk palagan baru.
Terlepas siapa yang murni menegakkan kebenaran, yang pasti pihak paling diuntungkan justru elite DPP. Secara khidmat kedua kubu adu unjuk setia ke elite, dengan Airlangga Hartarto selaku episentrum. Makin kencang pamer kepatuhan, makin sempit ruang negosiasi, plus makin besar pula kekuasaan elite sebagai penentu akhir permainan. Di titik ini, prinsip homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) seperti dikatakan Thomas Hobbes berlaku sepenuhnya.
Ketiga, samar-samar terlihat ada kebuntuan komunikasi. Entah karena ego sang patron, atau akibat pendukung belum ingin ada perdamaian, karena dapat berimbas pada terhalangnya kepentingan mereka. Terpalangnya kanal komunikasi lantaran belum tersedia mediator yang disegani atau dipercaya keduanya. Sugawa dan Demer juga sama-sama gengsi, tidak ingin “dianggap kalah” hanya karena coba duluan menawarkan komunikasi setelah konfrontasi mengeruh. Adagium when communication stops, the war begins menemukan jalannya.
Sengitnya pertarungan kini menyisakan pertanyaan sepele: siapa yang dirugikan dari situasi ini? Bahwa kubu Demer atau Sugawa ada dirugikan iya, tapi celaka terbesar justru menimpa organisasi. Sejak 2020, yang abai dilakukan justru mencari apa kesamaan guna mempersatukan pandangan, bukan memperlebar perbedaan. Sebagai primus inter pares dalam kelompok, Sugawa dan Demer terlihat kurang jernih menyaring bisikan inner circle. Alih-alih mengontrol laporan, mereka justru lembek menangkal provokasi berselubung informasi.
Selain rentan melahirkan kondisi post truth, keduanya bagai hidup di dalam bubble atau gelembung masing-masing. Kondisi yang mempertebal keterpisahan. Hanya ada “kita” dan “mereka”, tidak ada pihak netral di sini.
Golkar Bali mestinya belajar lebih berlapang hati menerima perbedaan, intrik, dan muslihat dalam politik. Selalu ada gencatan senjata ketika sama-sama melihat kepentingan lebih besar. Prabowo yang menempur habis Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019 saja, bersedia menjadi “pembantu” Presiden meski itu berarti mengecewakan sebagian pendukungnya sampai sekarang. Argumennya demi persatuan nasional. Mengingat tahapan Pemilu 2024 sudah jalan, kenapa Sugawa dan Demer tidak?
Ketika rebutan legitimasi pengendali Golkar Bali ini berlarut-larut, kemudian perolehan suara jeblok, kader layak mengkritik apakah sepak terjang Sugawa dan Demer demi memperbaiki atau justru sedang mencincang partai? Sebab, meminjam pandangan sastrawan Inggris, George Orwell, bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati.
Niccolo Machiavelli menyebut gangguan pada kekuasaan bisa lahir dari orang yang ditaklukkan, atau dari kawan yang sebelumnya membantu penaklukan. “Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah,” begitu kata Mao Zedong. Meski opsi ekstrem di politik adalah kill or to be killed, siapa pun memimpin sepatutnya mendengar rintihan kader yang frustasi melihat tiang partai digergaji kontroversi. Bila gegabah, bukan mustahil keduanya dikenang sebagai “sisi gelap sejarah Golkar Bali”. Jadi, meminjam judul lagu band Armada, mau dibawa ke mana Golkar Bali? Gus Hendra