Dana Pendidikan Minimal 20%, Bagaimana Kondisi Sesungguhnya di Satuan Pendidikan?

TANGKAPAN layar alokasi anggaran pendidikan 2024. Foto: ist
TANGKAPAN layar alokasi anggaran pendidikan 2024. Foto: ist

IGK Tribana, Penulis sebagai seorang guru

PASCA-PILPRES 2024 kembali hangat isu seputar Dana Pendidikan. Sekurang-kurangnya ada dua isu hangat. Pertama, Isu Dana Pendidikan yang besar belum banyak dirasakan oleh insan di instansi pendidikan, khususnya para peserta didik. Para peseta didik jika mau belajar mandiri,ternyuata buku paket belum tersedia, kecuali beli di toko. Kondisi itu terjadi untuk sekolah negeri tertentu, terutama sekolah yang baru berdiri sekitar tiga sampai lima tahun terakhir. Mau praktik di lab, sekolah tidak tidak punya lab. Sekolah yang sudah punya lab ternyata dipakai ruang kelas akibat jumlah rombel (rombongan belajar) melebihi jumlah ruang kelas yang tersedia. Kedua, persoalan Kurikulum Merdeka yang tidak pernah lepas dari kritik pro dan kontra. Guru (baca guru penggerak) yang mestinya paham Kurikulum Merdekadalam pelaksanaannya belum menemukan format yang jelas  untuk membantu guru lain sehingga mudah melaksanakannya. Guru saja masih bingung apalagi siswanya? Kurikulum Merdeka mungkin—karena penulis belum mendalaminya—secara terori bagus namun penerapannya masih menimbulkan kebingungan  pada kebanyakan guru. Misalnya, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila masih mencari-cari bentuk atau model yang jelas.Pelaksanaanya antara sekolah yang satu dengan lain berbeda karena pemahaman yang berbeda, bukan karena potensi yang berbeda pada peserta didik.

Bacaan Lainnya

Untuk persoalan penerapan Kurikulum Merdeka, biarlah nanti dibicarakan. Pada tulisan ini akan  difokuskan dulu  pada isu Dana Pendidikan.  Dalam konstutusi (UUD 45 yang diamendemen) dana pendidikan ditegaskan sekurang-kurangnya 20%. Melihat rentang waktu sudah hampir dua puluh tahun, ternyata dunia pendidikan  belum mengalami kemajuan dari segi kualitas. Peringkat kualitas pendidikan Indonesia masih tergolong rendah di tingkat internasional padahal sudah digelontorkan dengan anggaran yang besar. Belum meningkatnya mutu pendidikan, para guru masih dijadikan kambing hitam—tunjangan profesi guru sebesar gaji pokok tidak berpengaruh terhadap peningkatan mutu p;endidikan.

Baca juga :  DPKP Denpasar Bantu Kelompok Masyarakat Benih Ikan Nila

Penulis telah menjadi guru lebih dari empat puluh tahun. Penulis akan mencoba membandingkan ketika masuk dan menjadi peserta didik SMA tahun tujuh puluhan. Ketika itu penulis kebetulan masuk di sekolah (SMA) yang baru setahun dibuka—angkatan kedua. Penulis ingat betul belajar beberapa minggu sudah diajak oleh guru  menggunakan lab untuk mempelajari materi yang perlu diamati  langsung dengan menggunakan lab sehingga materi pelajaran tidak terasa di awang-awang. Waktu itu belum ada ketentuan dalam konstitusi soal dana pendidikan minimal 20%. Mungkin menteri yang mengurus pendidikan waktu memang paham soal pendidikan dan penunjukannya pun tidak karena menjadi tim sukses dalam Pemilu.

Sekarang dana pendidikan sering menjadi gembar-gembor para politikus bahwa pendidikan akan diberikan prioritas. Janji politikus dalam kampanye yakni: sekolah gratis; gaji guru akan ditingkatkan; bahkan dijanjikan oleh calon presiden dan wakil presiden program makan gratis.Bagaimana realisasinya, kita tunggu. Perlu diketahui bahwa dengan lima hari masuk sekolah anak-anak dua kali makan di sekolah sebab umumnya jarang anak yang bisa makan pagi di rumahnya sebelum berangkat ke sekolah. Antara pukul sembilan-sepuluh anak yang tidak biasa makan pagi di rumah mereka mulai kelaparan.

Kembali ke soal dana pendidikan yang besar (minimal 20%), tampaknya dunia pendidikan hanya mendapatkan “baunya” saja (maan bonne dogen), barangnya entah ke mana. Namun, ada info menarik dari Rapat Kerja DPR dengan mantan menteri yang pernah mengurus pendidikan baru-baru ini. Dalam rapat itu terungkap dana pendidikan justru  lebih banyak (52%) ditransfer ke Daerah dan Dana Desa. Apakah setelah masuk ke rekening daerah atau desa akan sampai pada dunia pendidikan di daerah? Kita tidak tahu. Apakah kepala desa akan menindaklanjuti untuk kepentingan pendidikan—menambah ruang belajar atau membangun perpustakaan sekolah, kita tidak tahu pula. Penulis yang sampai kini masih bekerja di dunia pendidikan (guru SMA) melum melihat  secara signifikan yang dirasakan oleh peserta didik anggaran pendidikan yang besar. Sekolah bertahun-tahun tidak memiliki fasilitas belajar seperti: lab, perpustakan, atau sarana-prasarana lain. Kondisinya jauh dari harapan apa lagi yang ideal sebagai satuan pendidikan.

Baca juga :  Satpol PP Denpasar Tertibkan Tempat Biliar dan Kafe

Yang perlu dikritisi adalah anggaran pendidikan masuk dana desa. Apakah kepala desa akan datang ke sekolah untuk memberikan atau membantu fasilitas sekolah? Pengamatan penulis, justru orang tua atau komite sekolah yang sering diminta oleh sekolah untuk menyediakan bangku atau sarana yang diperlukan oleh sekolah. Mirisnya lagi,  ketika ada miskomunikasi tentang pungutan dana oleh komite sekolah sering kabarnya menjadi heboh.Kebijakan kepala sekolah disorot secara negatif. Pemerintah mestinya menjadi mediator sehingga ada komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua siswa. Justru atasan satuan pendidikan  menyalahkan kepala sekolah dan komitenya. Banyak orang siswa hanya tahu bahwa dana pendidikan sangat besar, apa-apa yang diperlukan sekolah tidak perlu lagi minta bantuan kepada orang tua siswa. Begitukah kira-kira pendapat orang tua yang sering membuat heboh soal adanya sumbangan atau pungutan dana orang tua. Padahal, sesuai undang-undang peran masyarakat masih diperlukan dalam pendanaan pendidikan. Jelasnya, orang tua yang mampu dipersilakan membantu sekolah dalam pembiayaan.

Kembali soal penyaluran anggaran  pendidikan, tampak tidak salah jika ada pendapat pemerintah tidak serius mengurus pendidikan. Sudah hampir dua puluh tahun (susuai konstitusi) dana minimal 20% tidak dikelola sebagai mestinya. Dan, ternyata anggaran pendidikan itu disebar keberbagai instansi ke departemen lain. Alokasi Anggaran Pendidikan 2024 (Sumber: Kemendikbudristek) didistribusikan atau ditransfer  ke Daerah dan Dana Desa Rp346,5 T (52%);  Kemendikbudristek Rp98,9 T (15%); Belanja Non-Kementerian/Lembaga Rp47,3 T (7%);  Kementerian/Lembaga lain Rp32,8 T (5%); Kementerian Agama Rp62,3 (9%); dan Pengeluaran Pembiayaan Rp77 T (12%). Mudah-mudahan Anggaran Pendidikan di tahun mendatang lebih difokuskan kepada  pendanaan dunia pendidikan untuk peningkatan mutu dan pemerataan kesempatan belajar sehingga meminimalisasi kisruh saat PPDB.

Baca juga :  Jaga Bumi dengan Konsep Tri Hita Karana

Masyarakat belum banyak yang mengerti bahwa tidak ada pendidikan yang benar-benar gratis. Sayangnya, para politikus selalu gembar-gembor pendidikan gratis. Setelah terpilih, ternyata janji palsu. Justru yang terjadi sebagaian anak dan orang tua  merasakan untuk mendapatkan sekolah saja sulit terutama yang tempat tinggalnya tidak termasuk zonasi, belum punya prestasi, bukan anak miskin dan yatim piatu. Wajar sistem PPDB belum dirasakan sebagai sebuah keadilan sebab yang berhak masuk sekolah adalah anak yang rumah tempat tinggalnya paling deklat dengan sekolah.

Harapan kita, anggaran pendidikan yang sangat besar benar-benar dirasakan oleh dunia pendidikan, khususnya satuan pendidikan yang memerlukan. Ujug-ujug siswa makan gratis tempat belajar saja belum memadai. Semoga kampanye murahan tidak muncul lagi pada Pilkada nanti. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.