DENPASAR – Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-42 tahun 2020 siap menyajikan parade kesenian arja klasik warisan adiluhung nenek moyang di Pulau Dewata. Guna mengawali rangkaian persiapan PKB itu, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali menggelar kriyaloka (workshop) Arja Klasik di Taman Budaya Denpasar menghadirkan maestro kesenian arja di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali, Denpasar, Selasa (3/3/2020).
Maestro arja klasik asal Singapadu, Gianyar, Ni Nyoman Tjandri, dihadirkan sebagai pemateri utama. Selain itu, turut hadir budayawan terkenal, Prof. Dr. I Made Bandem, yang notabene adalah saudara Nyoman Tjandri dan menjadi murid langsung dari ayah mereka, maestro arja, I Made Kredek.
‘’Dramatari arja klasik merupakan seni pertunjukkan berbentuk dramatari menggunakan tembang macapat sebagai unsur pokok dalam dialog. Oleh karena, ia memiliki pakem, memiliki pola dasar yang membedakannya dengan tari pertunjukkan yang lain,’’ ungkap Prof. Bandem mengawali kriyaloka tersebut.
Prof. Bandem dikenal juga sebagai “Joe Papp dari Bali” ini menilai pemertahanan pakem dipandang sangat penting dalam pementasan arja. Sebab, selama ini pihaknya menemui sejumlah yang kadanglala kurang diperhatikan penyajinya, sehingga “merusak” pakem yang ada.
‘’Kadangkala dalam arja diungkap hal-hal yang vulgar, kalau boleh hindarilah yang porno itu, yang vulgar. Pertunjukkan arja selain sebagai tuntunan juga wajib memberi tuntunan,’’ katanya, sembari menawarkan peserta agar dapat mengambil kisah-kisah yang mengandung unsur peruwatan sebagai lakon yang akan disampaikan merujuk tema besar PKB ke-42 “Atma Kertih”.
Hal senada dinyatakan Nyoman Tjandri. Dalam pandangannya, pakem hendaknya dipegang dengam kokoh oleh setiap pelaku arja. Selain persoalan-persoalan sajian-sajian yang banyak menyatakan hal terlampau vulgar, pihaknya juga melihat penyimpangan di bidang busana yang digunakan oleh penari arja.
‘’Kalau arja pakaiannya ya harus seperti pakem yang ada, menggunakan prada. Tidak boleh menggunakan pakaian yang seperti artis, yang bling-bling, atau seringkali likunya berpakaian hanya sepotong. Itu merusak pakem,’’ terangnya.
Dijelaskannya, gerak tari arja juga memiliki perhitungan gerak selayaknya tari lain. Perhitungan gerak menjadi penting, sebab selain harus memperhatikan gerak, pentas arja juga sangat mementingkan keberadaan tembang. Inilah ciri pembeda paling mencolok dari arja.
Di dalam dramatari arja, lanjutnya, tembang bukan saja mempengaruhi cerita, tapi juga gerak. Penyelarasan antara tembang, gerak, dan tabuh inilah yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, perempuan 71 tahun ini mengatakan teknik ngunda bayu sangatlah berperan dalam penampilan arja.
‘’Seorang penyanyi arja harus mampu mengolah nafas, sehingga dapat mengatur gerak dan tembang, yang sering menjadi kendala dalam pementasan arja adalah kemampuan bernyanyi dari penarinya. Sering kali penari arja juga malu bernyanyi, sehingga suara yang dihasilkan tidak optimal, tidak los,’’ tandasnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Bali, Prof. Dr. I Wayan ‘Kun’ Adnyana, berharap kriyaloka yang digelar dapat memberi pemahaman dan pematangan pada materi arja klasik yang akan ditampilkan dalam PKB ke-42. ‘’Luaran kriyaloka ini diharapkan ada panduan praksis untuk mengetahui struktur arja maupun hal teknis pertunjukkan lainnya. Bagaimana nantinya kontingen kabupaten/kota, baik yang berperan sebagai penabuh maupun penari mendapat proyeksi pakem arja klasik, sehingga bisa dijadikan acuan pertunjukkan,’’ katanya.
Meski demikian, pemberikan panduan terkait pakem-pakem pertunjukkan arja tidak bermaksud menghilangkan gaya dari masing-masing daerah. Setiap sanggar atau daerah, ia yakini memiliki gaya masing-masing. ‘’Yang kita harapkan adalah timbul kesadaran dan pemahaman, bahwa arja itu disamping sebagai tontonan, juga ada tuntunan yang dapat dipelajari melalui nilai-nilai yang terkandung dalam babad, parwa, panji, dan satua lainnya,’’ terangnya. 015