GIANYAR – Sebelum menjelma menjadi salah satu destinasi wisata andalan Bali, pada masa lalu Ubud ternyata merupakan salah satu ceruk literasi penting di Bali. Catatan itu dibuktikan melalui lahirnya sejumlah pegiat literasi ternama yang karyanya tak lekang ruang dan waktu.
Setidaknya ada tiga tokoh literasi Bali tradisional ternama Ubud yang muncul dan mencatatkan namanya dalam kurun waktu masa kolonialisme Belanda hingga masa modern. Mereka adalah Ida Putu Maron, Cokorda Gde Ngoerah, dan Ida Bagus Rai.
“Ida Putu Maron yang lahir 1885 merupakan pegiat literasi yang pada masanya telah dijadikan narasumber kunci oleh peneliti Belanda seperti Geertz dan V.E. Korn. Beliau juga merupakan salah satu kurator dan pengurus harian Gedong Kirtya Singaraja sejak 1928 serta turut mendirikan dan menjadi pimpinan Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana bersama R. Goris,” ungkap dosen Sastra Bali Universitas Udayana (Unud), Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum., dalam Rembug Sastra bertajuk “Cermin Representasi Literasi Ubud” yang digelar Ubud Royal Weekend dan Puri Anyar Heritage di Museum Puri Lukisan Ubud, Sabtu (8/7).
Selain berperan penting dalam lembaga-lembaga formal penyimpanan naskah klasik itu, Ida Putu Maron juga menjadi tokoh penting dalam kehadiran Majalah Bhawanegara dan Djatajoe, dua majalah penting pada masanya. Di Majalah Djatajoe, sastrawan yang menggunakan nama pena Ki Murwa Patra ini menuliskan karya sastra “Koupasaman”, yang kemudian disalin dalam lontar dan menjadi koleksi Pusat Kajian Lontar Unud.
“Selain itu, beliau juga mengubah Geguritan Masasuara, Geguritan Nala Damayanti, Geguritan Bali Tattwa, Gita Rasmi Sancaya Edan Lelangon Putra, dan Gita Rasmi Sabcaya Potraka,” ucapnya.
Rakawi kedua Ubud yang juga begitu mumpuni adalah Cokorda Gde Ngurah. Dari daya batinnya tercipta Kakawin Gajah Mada, Geguritan Rajendra Prasad, Geguritan Suddhamala. Ketiga karya tersebut seakan memberi makna-makna yang begitu mendalam, mulai dari nilai-nilai patriotisme pada Kakawin Gajah Mada, entitas Ubud sebagai tempat diplomasi negara (Indonesia-India) dalam Geguritan Rajendra Prasad, dan nilai-nilai penyucian diri dalam Geguritan Suddhamala.
Rakawi ketiga adalah dr. Ida Bagus Rai, yang notabene adik dari Ida Putu Maron. Putra Bali pertama yang bergelar dokter ini di antaranya, mencipta Geguritan Kesehatan atau Gita Kawarasan, Geguritan Panca Puspita, Geguritan Amatra Mungguing Bhagawad Gita, Geguritan Yadnya ring Kuruksetra, serta Geguritan Nyokor ring Ida Hyang Guru.
“Sebagai seorang dokter, beliau menyatakan makna-makna kesehatan sebagai harta karun utama. Melalui karyanya yang notabene bergenre geguritan telah dijelaskan penyakit-penyakit dengan penanganan modern seperti tipus, kolera, dan disentri,” katanya.
Cermin Lampau dan Spirit Masa Kini
Kehadiran tiga rakawi Ubud terkemuka itu menjadi pertanda adanya gairah berkarya di masa lalu. Dalam ranah objek, gairah berkarya itu pun ditandai dengan persebaran naskah-naskah lontar yang jumlahnya relatif banyak di kawasan Kecamatan Ubud.
“Saat ini sudah terdata 1.471 cakep lontar di Kecamatan Ubud, dengan 718 cakep di antaranya ada di Kelurahan Ubud. Ini bukti gairah literasi di masa lampau,” kata Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Gianyar, IB Oka Manobhawa.
Kegairan literasi ini pun kembali dikuatkan dengan temuan sebuah buku berjudul “Wastan Rontal Padrewyan Hida Dane, Para Ska Sarapustaka Swang-swang” yang ditemukan di Puri Kauhan Ubud. Buku stensilan ini, jelas Oka Manobhawa, ditulis oleh Panglingsir Puri Kauhan Ubud atas penugasan Punggawa Besar Ubud, Tjokorda Gde Soekawati pada kurun waktu 1919-1920.
Pada buku tersebut tercatat ada 510 cakep lontar koleksi 16 pegiat literasi Ubud, yakni Ida Pedanda Made, Ida Bagus Ngurah, Ida Pedanda Putu, Cokorda Raka, Dewa Agung, Ida Pedanda Kompyang, Ida Pedanda Putu Alit, Dewa Gde Hoka, Cokordda Punggawa, Cokordda Gde Ngurah, Cokordda Gde Rahi, Padanda Ktut, Padanda Putu, Padanda Nyoman, Padanda Putu, dan Cokordda Gde Putu. “Ska Parapustaka adalah kelompok pegiat sastra dan kepustakaan pada zamannya, yang dilakukan di Ubud di kalangan griya dan puri. Aktivitas mereka adalah membaca, menyanyikan dan menginterpretasi teks yang dibaca,” jelasnya.
Spirit kesastraan Ubud tampaknya juga terus menggeliat di masa kini. Spirit masa lalu itu salah satunya direpresentasikan melalui kehadiran Tjokorda Raka Kerthyasa. Dari tangan tokoh puri yang juga anak dari Cokorda Gde Ngurah telah melahirkan banyak puisi, yang sejumlah di antaranya telah dibukukan.
Terkait dengan proses kreatifnya serta tanggapan atas denyut kesastraan di Ubud, tokoh politik yang dikenal dengan nama Cok Ibah ini menilai sastra merupakan tambang ilmu yang harus dicari langkah demi langkah. Ke depan, pihaknya pun berharap generasi muda tidak hanya berhenti pada level mengagumi budaya Bali.
“Kita adalah tetesan embun dan cita budi. Kita wajib untuk membongkar, membedah, menguraikan isi (budaya Bali).melalui teknologi saat ini, sastra bisa digerakkan berbasis media,” katanya.
Menurutnya, memahami Bali yang baik dan benar hanya dapat dilakukan dengan memahami keseharian Bali. Hal itu dapat dilakukan dengan menyelami kebudayaan warisan para leluhur.
“Jika ingin mengetahui dan mengenang kehidupan seseorang, lihatlah kesehariannya. (Dan) sastra dari pasuk wetu sastra. Sastra akan jadi pengetahuan ketika sudah diterapkan,” pungkas tokoh puri yang kini juga menjabat Bendesa Adat Ubud ini. 015