PRESIDEN Jokowi merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional pada 24 Februari 2020 lalu. Bukannya bikin senang, kelahiran Perpres ini bikin lesu para pejabat di daerah karena menyebabkan nilai uang harian perjalanan dinas menyusut tajam. Salah satu pihak yang terkena imbas adalah anggota DPRD Bali.
Dalam Perpres itu dijelaskan, standar harga satuan regional dirinci dalam Pasal 1 ayat 2 yang meliputi (a) satuan biaya honorarium, (b) satuan biaya perjalanan dinas dalam negeri, (c) satuan biaya rapat/pertemuan di dalam dan di luar kantor, (d) satuan pengadaan kendaraan dinas, dan (e) satuan biaya pemeliharaan. “Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini,” bunyi Pasal 1 ayat 3.
Singkatnya, Perpres itu mengatur batas tertinggi yang tidak boleh dilampaui, baik dalam perencanaan anggaran maupun pelaksanaan anggaran. Semuanya diatur rinci dengan ketentuan berbeda-beda untuk tiap regional atau provinsi. Untuk Bali, uang perjalanan dinas per hari Rp 480 ribu untuk luar kota, dan Rp 190 ribu untuk dalam kota. Sebelumnya setiap legislator kunjungan kerja ke luar daerah mengantongi Rp 3 juta sampai Rp 3,5 juta sehari. Jika selama empat hari, tinggal kalikan saja.
Tidak ada anggota DPRD Bali yang bersedia berkomentar terkait masalah ini, setidaknya dengan dikutip namanya. Ketua Fraksi PDIP, Dewa Made Mahayadnya, yang dimintai komentar awal pekan lalu, hanya senyum-senyum. “Ane keto-keto takonang (yang begitu-begitu ditanya),” katanya tersenyum. Segendang sepenarian, Ketua Fraksi Gerindra, Ketut Juliarta, juga tidak irit komentar mengenai soal itu. “Saya tidak komentar dulu,” sahutnya dihubungi via telepon. Ungkapan serupa diutarakan Ketua Fraksi Demokrat, Komang Nova Sewi Putra. “Saya belum bisa komentar dulu ya, Perpresnya masih saya baca-baca dulu,” sahutnya sambil terkekeh.
Belum ada penjelasan resmi mengapa Presiden mengambil kebijakan mengencangkan ikat pinggang “sekejam” itu. Namun, lesunya ekonomi nasional belakangan ini patut diduga sebagai pemantiknya. Dengan pemangkasan uang perjalanan dinas, daerah dapat melakukan efisiensi keuangan, dan bisa diarahkan untuk modal pembangunan di sektor lain.
Namun, dipandang dari sisi legislator, jelas Perpres itu dirasa tidak adil. Perjalanan seseorang sampai dapat duduk menjadi anggota DPRD Provinsi jelas penuh perjuangan dan pengorbanan mulai biaya, darah, keringat sampai air mata. Jadi, ya, wajar dan manusiawi ketika kini menjabat mereka berharap mendapat sesuatu lebih. Minimal logistik yang dikeluarkan saat masimakrama, kampanye dan tetek-bengek pemilu itu bisa kembali. Syukur-syukur ada lebihnya.
Terlihat perlente menyandang status wakil rakyat, bukan berarti legislator tidak punya “penderitaan” yang mesti ditanggung selama lima tahun menjabat. Sikap pragmatis masyarakat kita dalam relasi dan memandang legislator juga patut dipertihitungkan. Simak saja penuturan seorang legislator yang mendaku nyaris adu fisik dengan sekelompok orang yang memaksa minta uang kepadanya. Alih-alih minta sukarela, mereka malah paksa rela. “Mereka minta 10 juta, saya beri 2 juta ditolak. Malah ngejek saya,” keluh politisi asal Karangasem itu.
Lalu apa dampak jika aturan ini diterapkan mulai 2021 tanpa ada alternatif tambahan penghasilan lain? Menurunnya agresivitas dan kreativitas merancang produk hukum daerah bisa dimasukkan dalam daftar. Daripada capek-capek turun dengan uang saku mungil, bekerja di kantor sembari menunggu laporan instansi di Pemprov Bali dirasa lebih menyenangkan. “Ngapaian juga ke lapangan kalau cuma dapat 190 ribu? Kita jangan munafik, cukup uang segitu buat bensin dari Denpasar ke Singaraja misalnya? Beli solar saja kurang, apalagi buat beli pertamax,” sungut sumber yang menolak disebut identitasnya itu.
Disentil kemungkinan pemerintah menaikkan penghasilan anggota DPRD Bali agar tidak usah berharap uang perjalanan dinas, seorang legislator langsung mendelik. “Maksud Anda, gaji saya dipotong untuk perjalanan dinas yang mestinya dibayar negara? Memangnya keluarga saya tidak perlu makan?” seru politisi asal Klungkung itu sambil menyedot rokoknya dalam-dalam.
Di sudut lain, nominal yang tercantum dalam Perpres itu ternyata bukan hal baru bagi penyelenggara pemilu. Selama ini uang saku komisioner memang relatif kecil, hanya Rp 180 ribu untuk dinas ke luar kota. “Ya memang segitu uang harian kami. Mau ke Jakarta atau ke Surabaya, angkanya segitu,” tutur Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Lidartawan, yang dimintai komentar. “Bukan masalah kecil atau besar, tapi memang hanya senilai itu disediakan negara untuk kami,” imbuh anggota Bawaslu Bali, Wayan Widyardana.
Publik silakan setuju atau tidak setuju dengan respons anggota DPRD Bali itu, tapi soal munafik memang layak digarisbawahi. Bagaimana paradigma pejabatnya merupakan cerminan sikap masyarakatnya. Ketika masyarakat pragmatis, pejabat niscaya lebih pragmatis. Pejabat butuh loyalitas masyarakat sebagai legitimasi kekuasaan, masyarakat butuh kucuran rupiah agar tetap loyal kepada penguasa. Sama-sama diuntungkan dan sama-sama membutuhkan. Jika ingin memperbaiki, idealnya, perbaiki dua-duanya, bukan hanya salah satu. Gus Hendra